1.
Contoh
penafsiran dengan metode bil ma’tsur
a.
Tafsir Al-Quran dengan Al-Quran.
QS Al-Maidah (5): 1:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَوْفُوا۟ بِٱلْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ ٱلْأَنْعَٰمِ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّى ٱلصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ إِنَّ ٱللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ ﴿١﴾
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu
sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya.”
Penggalan ayat Illa Maa Yutlaa ‘alaikum dijelaskan
oleh Allah dalam firman QS. Al-Maidah (5): 3):
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحْمُ ٱلْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيْرِ ٱللَّهِ بِهِۦ وَٱلْمُنْخَنِقَةُ وَٱلْمَوْقُوذَةُ وَٱلْمُتَرَدِّيَةُ وَٱلنَّطِيحَةُ وَمَآ أَكَلَ ٱلسَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى ٱلنُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا۟ بِٱلْأَزْلَٰمِ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ٱلْيَوْمَ يَئِسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِن دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَٱخْشَوْنِ ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا فَمَنِ ٱضْطُرَّ فِى مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٣﴾
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang
tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang
buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih
untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlām (anak panah),
(karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus
asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka,
tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu,
dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai
agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat
dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
b.
Tafsir ayat Al-Quran dengan as-Sunah.
Firman Allah dalam QS. Al-An’am (6): 82:
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَلَمْ يَلْبِسُوٓا۟ إِيمَٰنَهُم بِظُلْمٍ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱلْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ ﴿٨٢﴾
“Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang
mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.”
Kata “al-zulm” dalam ayat tersebut, dijelaskan
oleh Rasul Allah saw dengan pengertian “al-syirk” (kemusyrikan).
Sesuai dengan penafsiran dalam tafsir Jalalain
“(Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampur-adukkan) tidak mencampurkan (keimanan mereka dengan kelaliman) yakni
kemusyrikan demikianlah menurut penafsiran yang tersebutkan di dalam hadis
sahih Bukhari dan Muslim (mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan)
dari siksaan (dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.)”
Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 238:
Peliharalah segala shalat dan shalat wustha”
(QS Al-Baqarah [2]:238). ”Shalat wustha” dijelaskan oleh Nabi dengan ”shalat
Asar”.
Firman Allah dalam QS. Al-Fatihah (1): 7:
“(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
(pula jalan) mereka yang sesat. (QS Al-Fatihah:7).”
Kata “al-Magdlubi `alaihim dan al-Dhaalliin”
ditafsirkan oleh Nabi dengan orang-orangYahudi dan Nasrani.
Tafsir jalalainnya
“(Jalan orang-orang yang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka), yaitu melalui petunjuk dan hidayah-Mu.
Kemudian diperjelas lagi maknanya oleh ayat berikut: (Bukan (jalan) mereka yang
dimurkai) Yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi. (Dan bukan pula) dan selain
(mereka yang sesat.) Yang dimaksud adalah orang-orang Kristen...”
c.
Tafsir Al-Quran dengan riwayat sahabat.
Di antara contoh mengenai penafsiran sahabat
terhadap Alquran ialah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu AN Halim dengan
Sanad yang saheh dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menerangkan QS.
Al-Nisaa’(4) : 2:
وَءَاتُوا۟ ٱلْيَتَٰمَىٰٓ أَمْوَٰلَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا۟ ٱلْخَبِيثَ بِٱلطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَهُمْ إِلَىٰٓ أَمْوَٰلِكُمْ إِنَّهُۥ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا ﴿٢﴾
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang
sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan
jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”
Kata ” HUB ” ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dengan
dosa besar. Juga penjelasan Ibnu Abbas mengenai firman Allah QS. Al-Fatihah:7:
yaitu ketaatanmu, ibadatmu di antara para
malaikat, para Nabi, para siddiqiin, syuhada dan orang-orang saleh.
d.
Tafsir Al-Quran dengan penjelasan tabi’in.
Sebagai bahan rujukan dalam dalam penulisan
Alquran, penjelasan tabi’in tetap diperhitungkan untuk dapat menafsirkan
Alquran. Sekalipun mereka bukan generasi sahabat yang langsung mendapat
penafsiran dari Nabi, tetapi mereka memperoleh penjelasan dari para sahabat.
Sebagai contoh penafsiran Mujahid bin Jabbar tentang ayat: Shiraat
al-Mustaqim yaitu kebenaran. Mujahid sering menemui Ibnu Abbas
dalam memperoleh keterangan.
2.
Contoh penafsiran dengan metode muqorron
a.
Penafsiran ayat dengan ayat yang redaksinya
sama namun kasusnya berbeda.
Contoh penafsiran tersebut adalah terdapat
dalam surah al-Qasas dan surah Yasin.
وَجَآءَ رَجُلٌ مِّنْ أَقْصَا ٱلْمَدِينَةِ يَسْعَىٰ قَالَ يَٰمُوسَىٰٓ إِنَّ ٱلْمَلَأَ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَٱخْرُجْ إِنِّى لَكَ مِنَ ٱلنَّٰصِحِينَ ﴿٢٠﴾
“Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung
kota bergegas-gegas seraya berkata: “Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri
sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota
ini) karena sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasihat
kepadamu”. ( Q.S. Al-Qasas: 20)
“Dan datanglah dari ujung kota, seorang
laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: “Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan
itu”. (Q.S. Yasin: 20)
Bila diamati dengan seksama, kedua ayat di atas
tampak mirip redaksinya meskipun maksudnya berlainan. Pada ayat pertama,
al-Qasas:20 mengisahkan peristiwa yang dialami nabi Musa as dan kejadiannya di
Mesir; sedangkan surah Yasin: 20 berkenaan dengan kisah yang dialami penduduk
sebuah kampung (ashab al-qaryah) di Inthaqiyah (Antochie), sebuah kota yang
terletak disebelah utara Siria dan peristiwanya bukan pada masa nabi Musa as.
Perbandingan dalam aspek ini dapat dilakukan
pada semua ayat, baik dalam pemakaian mufradat, urutan kata, maupun kemiripan
redaksi. Mufassir membandingkan ayat alquran dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat
yang memiliki perbedaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang
sama; atau ayat-ayat yang memiliki redaksi mirip atau sama dalam masalah atau
kasus yang (diduga) mempunyai perbedaan. Bahwa objek kajian metode tafsir ini
hanya terletak pada persoalan redaksi ayat-ayat alquran, bukan dalam bidang pertentangan
makna.
b.
Penafsiran ayat dengan ayat yang redaksinya
berbeda namun kasusnya sama.
وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُم مِّنْ إِمْلَٰقٍ
“Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena
takut miskin, kami yang akan memberi rezeki kepada kamu dan kepada mereka” (Al-An’am:
151)
وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَٰقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًٔا كَبِيرًا ﴿٣١﴾
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu
karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu.
Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.”(Al-Isra’: 31).
Kedua ayat di atas menggunakan redaksi yang
berbeda padahal maksudnya sama yakni sama-sama mengharamkan pembunuhan anak.
Hanya saja sasarannya berbeda. Yang pertama, al-An’am: 151 khitab ditujukan
kepada orang miskin atau fuqara; sedangkan ayat kedua al-Isra’: 31, arah
pembicaraannya lebih ditujukan kepada orang-orang kaya. Dengan mendahulukan
damir mukhatab (نرزقكم) dari damir ghaib (اياهم) memberikan pemahaman tentang khitab atau
sasarannya adalah orang miskin, sedangkan mendahulukan damir gaib (نرزقهم) dari damir mukhatab (اياكم) memberikan penafsiran bahwa sasarannya adalah orang kaya.
c.
Penafsiran ayat dengan perbandingan penafsiran
antara mufassir dengan mufassir lain.
أَفَتَطْمَعُونَ أَن يُؤْمِنُوا۟ لَكُمْ وَقَدْ كَانَ
فَرِيقٌ مِّنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَٰمَ ٱللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُۥ مِنۢ بَعْدِ
مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ ﴿٧٥﴾
Artinya: “apakah kamu masih mengharapkan mereka
akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah,
lalu mereka mengubahnya setelah mereka memaaminya, sedang mereka mengetahui”
(Q.S. Al-Baqarah: 75)
Penafsiran para mufassir tentang cara nabi Musa
as berkata-kata dengan Allah swt.
Tafsir al-Qurtubi
“Bahwa Nabi Musa as. mendengar suatu perkataan
yang tanpa berhuruf dan bersuara, tanpa terputus-putus dan tanpa satu nafas.”
Tafsir at-Tabari
“Allah swt. Berdialog yang perkataannya kepada
nabi Musa as. dengan satu dialog, dan berkata-kata kepada Musa as, perkataannya
dengan ucapan (bahasa) Allah swt, sehingga menjadikan nabi Musa bertanya kepada
Allah: wahai tuhanku Aku tidak paham! Sehingga Allah swt berkata-kata dengan
nabi Musa as. dengan ucapannya(yang dipahami nabi Musa) yang lain dari ucapan
(bahasa)Allah swt.”
Tafsir al-Munir
“Allah berkata-kata dengan nabi Musa maksudnya
Ia berkata-kata dengannya dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit
memandang maslahat, tanpa ada perantara yaitu Allah menghilangkan penghalang
darinya sehingga dia mendengar pengertian yang ada pada zat Allah swt.”
3.
Contoh penakwilan
a.
Firman
Allah
“Mereka (para malaikat) takut kepada Tuhan
mereka Yang di atas mereka (dengan kekuasaanNya), serta mereka mengerjakan apa
Yang diperintahkan.(Annahli16:50)
Takwil khalaf – Maksud ‘di atas’ itu adalah
‘ketinggian dan kebesaran’. Jadi maksudnya para malaikat takut dengan
ketinggian dan kebesaran Allah.
b.
Firman
Allah
“Adalah (Allah) Ar-Rahman, Yang bersemayam di
atas Arasy.” (Ta Ha 20:5)
Takwil khalaf – Maksud bersemayam itu adalah
memerintah dan menguasai. Jadi makna
ayat tersebut Allah itu memerintah dan menguasai arasy.
c.
Firman
Allah
“Dan akan kekallah wajah Tuhanmu Yang mempunyai
kebesaran dan Kemuliaan.” (Ar-Rahman 55:27)
Takwil khalaf – Yang dimaksudkan wajah di dalam
ayat di atas adalah zat Allah. Jadi makna ayat tersebut “Dan kekallah zat
Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”
No comments:
Post a Comment
silahkan beri komentar yang membangun.