Dasar-dasar
Tasawuf Dalam Al-Qur’an dan Hadits
1.
Al-Qur’an
Al-Qur’an dijadikan sumber untuk Tasawuf karena
Al-Qur’an sebagai nash, dimana Hadits pun termasuk didalamnya. Setiap
muslim dimana pun dan kapan pun di bebani untuk memahami dan mengamalkannya
dalam kehidupan yang nyata. Apabila pemahaman nash tidak diamalkan, maka
disitulah terjadi kesenjangan.
Awal pembentukan dari Tasawuf itu sendiri adalah akhak
atau keagamaan, sedangkan akhlak dan keagamaan ini banyak dibahas didalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jadi, sebagai sumber pertamanya adalah Al-qur’an,
As-Sunnah dan ucapan serta amalan para sahabat.
Al-Qur’an di dalamnya mengandung muatan-muatan ajaran
islam, baik dalam bidang aqidah, syari’ah maupun mu’amalah. Al-Qur’an perlu
dipahami secara tekstual lahiriah, namun disisi lain Al-Qur’an pun perlu
dipahami dari disisi kontekstual-rohaniah. Jika hanya dipahami dari lahiriahnya
saja, maka ayat-ayat Al-Qur’an akan terasa kaku, kurang dinamis, dan akan
ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis.
Ajaran islam mengatur kehidupan secara lahiriah dan
batiniah. Pemahaman terhadap unsur batiniah akan mengeluarkan tasawuf.
Yang secara garis besar mendapatkan perhatian dari sumber ajaran islam,
Al-Qur’an, As-Sunnah dan praktek kehidupan para Nabi beserta sahabatnya.
Al-Qur’an berbicara tentang manusia dapat saling mencintai (muhabbah)
dengan Tuhan. Hal itu misalnya difirmankan Allah dalam Al-Qur’an surat
Al-Maidah : 54, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, barngsiapa di
antara kamu yang murtad dari agama, maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Allah mencintai meraka dan meraka pun mencintai-Nya, yang
bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras
terhadap orang-orang kafir, yang berjihab di jalan Allah, dan yang tidak takut
kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya
kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi maha
pengetahui.”
Dalam Al-Qur’an Allah pun memerintahkan hambanya untuk
bertobat, membersihkan diri, dan memohon ampunan-Nya agar mendapatkan cahaya
dari-Nya. Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim : 8, yang
artinya “Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dan tobat
yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus
kesalahan-kesalahanmu dan masukan kamu kedalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang
beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di
sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah
bagi kami cahaya kami; sesungguhnya engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Al-Qur’an pun menegaskan tentang pertemuan Allah
dengan hambanya dimanapun hambanya berada sesuai dengan firman dalam Al-Qur’an
surat Al-Baqarah : 115, yang artinya “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan
barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlan wajah Allah.
Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui).”
Allah pun akan memberikan cahaya kepada yang
dikehendakin-Nya, sebagaimana firman nya dalam Al-Qur’an surat An-Nur : 35 yang
artinya “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya
Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak hembus, yang di dalamnya ada pelita
besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang
bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
banyak berkahnya, yaitu (pohon) zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur
(sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya saja
hampir-hampir menerangi, walaupun tidak di sentuh api. Cahaya di atas cahaya
(berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki,
dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. “
Allah juga menjelaskan kedekatan manusia dengan-Nya,
seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 186, yang atinya “jika
hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang diri-Ku, adalah dekat, Aku mengabulkan
seruan orang yang memanggil jika ia panggil Aku.” Selain itu adapula firman
allah yang berbunyi dalam Al-Qur’an surat Qaf : 16, yang artinya “sebenarnya
Kami ciptakan manusia dan kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami
lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri.”
Al-Qur’an pun mengingatkan manusia agar tidak
diperbudak oleh harta duniawi dan kehidupannya. Sebagaimana firman Allah dalam
Al-Qur’an surat Fatir : 5, yang artinya “Hai manusia sesungguhnya janji
Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdaya kamu
dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang
Allah.”
Berikut adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi
landasan para sufi baik tingkatan maupun keadaannya. Dimana sufi adalah seperti
tingakatan zuhud yang banyak dklaim sebagai beranjaknya ilmu tasawuf,
telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 77 pada bagian akhir ayat yang
artinya “katakanlah kesenangan didunia ini hanya sementara, dan akhirat itu
lebih baik untuk orang-orang yang bertawakal.”
Sedangkan
dalam tingkatan takwa berlandaskan pada firman Allah yang terdapat dalam
Al-Qur’an surat Al-Hujurat : 13 yang sebagian arti dari ayat tersebut berbunyi “sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling takwa di antara kamu.”
Tingkat
tawakal menurut sufi berlandaskan pada firman Allah dalam Al-Qur’an
surat At-Talaq : 3 yang sebagian arti dari ayat tersebut berbunyi “Dan
barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan
(kebutuhan)nya.” Serta pada Al-Qur’an surat Az-Zumar : 38 yang akhir dari
ayat tersebut bila diartikan berbunyi “Dan hanya kepada Allah-lah
orang-orang beriman itu bertawakal.”
Tingkatan
syukur berlandaskan pada firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ibrahim : 7
yang sebagian ayatnya menyebutkan bahwa “sesungguhnya jika kamu
bersyukur pasti Kami akan menambahka( nikmat) kedapamu.”
Tingkatan
syukur berlandaskan pada firman Allah yang berbunyi “maka bersabarlah
kamu karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlan ampunan untuk
dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.”
Serta dalam surat Al-Baqarah :155, berbunyi “Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar.”
Kemudian
yang terakhir adalah tingkat rida yang berlandaskan pada firman Allah
dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah : 119 yang sebagian dari ayat tersebut berbunyi
“Allah rida terhadap mereka, dan mereka pun rida terhadap-Nya.”
2. Landasan Hadits
Dalam hadits Rasulullah banyak sekali keterangan yang
membahas tentang kehidupan rohaniah manusia. Berikut adalah matan hadits yang
dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf.
a.
Hadits yang
berbunyi “Barang siapa yang mengenal dirinya sendiri berarti ia mengenal
Tuhannya.”
b.
Hadits yang
berbunyi “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka aku
menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku.”
c.
Hadits yang
berbunyi “Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan
amalan-amalan sunah sehingga Aku mencintainya. Maka tatkala mencintainya,
jadilah Aku pendengarnya yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya yang ia
pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan akainya
yang dia pakai untuk berusaha; maka dengan-Ku-lah dia mendengar, melihat,
berbicara, berfikir, meninjau dan berjalan.”
Hadits
diatas memberikan petunjuk bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan-Nya. Diri
manusia dapat lebur kedalam diri Tuhan, yang disebut dengan fana’. Fana’ yaitu
sebagai makhluk mencintai Tuhan seperti apa yang dicintainya. Istilah “lebur”
atau “fana” haruslah ada ketegasan bahwasannya di antara Tuhan dengan
Manusia tetap ada jarak dan itu hanya sebagai penunjuk keakraban saja.
Dalam kehidupan nabi muhammad SAW.
Juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau adalah sebagai seorang
sufi. Nabi Muhammad telah mengasingkan diri Ke Gua hira menjelang datangnya
wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan yang pada waktu itu
diagung-agungkan oleh orang Arab tengah tenggelam di dalamnya, seperti dalam
praktek perdagangan dengan prinsip menghalalkan segala secara.
Selama di Gua Hira Rasulullah hanya
bertafakur, beribadah dan hidup sebagai jahid. Beliau hidup sangat sederhana,
terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak makan atau minum kecuali yang
halal dan setiap malam beribadah kepada Allah SWT., sehingga Siti Aisyah
bertanya , “Mengapa engkau berbuat begini, ya Rasulullah pasahal Alla
senantiasa mengampuni dosamu?” Rasulullah menjawab, “apakah engkau tidak
menginginkanku menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah?”
Dikalangan sahabat pun banyak juga
yang mengikuti praktekbertasawuf sebagaimana yang dipraktekan Nabi Muhammad
SAW. Abu Bakar Ash-Shiddiq, misalnya, pernah berkata, “Aku mendapatkan
kemuliaan dalam keatakwaan, kefana’-an dalam keagungan dan kerendahan hati.”
Khalifah Umar bin Khaththab pernah berkhutbah dihadapan jemaah kaum Muslimin
dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Khalifah Utsman bin affan
banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca Al-Qur’an. Baginya,
Al-Qur’an adalah ibarat surat dari kekasih yang selalu dibawa dan dibaca kemana
pun ia pergi. Demikian pula sahabat-sahabat lainnya, seperti Abu Dzar
Al-Ghifari, Tamin Darmy, dan Hudzaifah Al-Yamani.
Uraian dasar-dasar tasawuf diatas,
baik dari Al-Qur’an, Al-Hadits, maupun teladan dari para sahabatmerupakan benih-benih
tasawuf dalam kedudukannya sebagai ilmu tentang tingkatan (maqamat) dan keadaan
(ahwal). Dengan kata lain, ilmu tentang moral dan tingkah laku manusia terdapat
rujukannya dalam Al-Qur’an. Dari sini jelaslah bahwa dalam pertumbuhan
pertamanya, tasawuf ternyata ditimba dari sumber Al-Qur’an itu sendiri.
No comments:
Post a Comment
silahkan beri komentar yang membangun.