Thursday, 6 November 2014

Dasar-dasar Tasawuf Dalam Al-Qur’an dan Hadits



Dasar-dasar Tasawuf  Dalam  Al-Qur’an  dan  Hadits

1.       Al-Qur’an
Al-Qur’an dijadikan sumber untuk Tasawuf karena Al-Qur’an sebagai nash, dimana Hadits pun termasuk didalamnya. Setiap muslim dimana pun dan kapan pun di bebani untuk memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan yang nyata. Apabila pemahaman nash tidak diamalkan, maka disitulah terjadi kesenjangan.
Awal pembentukan dari Tasawuf itu sendiri adalah akhak atau keagamaan, sedangkan akhlak dan keagamaan ini banyak dibahas didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jadi, sebagai sumber pertamanya adalah Al-qur’an, As-Sunnah dan ucapan serta amalan para sahabat.
Al-Qur’an di dalamnya mengandung muatan-muatan ajaran islam, baik dalam bidang aqidah, syari’ah maupun mu’amalah. Al-Qur’an perlu dipahami secara tekstual lahiriah, namun disisi lain Al-Qur’an pun perlu dipahami dari disisi kontekstual-rohaniah. Jika hanya dipahami dari lahiriahnya saja, maka ayat-ayat Al-Qur’an akan terasa kaku, kurang dinamis, dan akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis.
Ajaran islam mengatur kehidupan secara lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur batiniah akan mengeluarkan tasawuf.  Yang secara garis besar mendapatkan perhatian dari sumber ajaran islam, Al-Qur’an, As-Sunnah dan praktek kehidupan para Nabi beserta sahabatnya. Al-Qur’an berbicara tentang manusia dapat saling mencintai (muhabbah) dengan Tuhan. Hal itu misalnya difirmankan Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah : 54, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, barngsiapa di antara kamu yang murtad dari agama, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai meraka dan meraka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut  terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihab di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi maha pengetahui.”
Dalam Al-Qur’an Allah pun memerintahkan hambanya untuk bertobat, membersihkan diri, dan memohon ampunan-Nya agar mendapatkan cahaya dari-Nya. Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim : 8, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dan tobat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan masukan kamu kedalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami; sesungguhnya engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Al-Qur’an pun menegaskan tentang pertemuan Allah dengan hambanya dimanapun hambanya berada sesuai dengan firman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 115, yang artinya “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap  di situlan wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui).”
Allah pun akan memberikan cahaya kepada yang dikehendakin-Nya, sebagaimana firman nya dalam Al-Qur’an surat An-Nur : 35 yang artinya “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak hembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, yaitu (pohon) zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya saja  hampir-hampir menerangi, walaupun tidak di sentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Allah juga menjelaskan kedekatan manusia dengan-Nya, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 186, yang atinya “jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang diri-Ku, adalah dekat, Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil jika ia panggil Aku.” Selain itu adapula firman allah yang berbunyi dalam Al-Qur’an surat Qaf : 16, yang artinya “sebenarnya Kami ciptakan manusia dan kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri.”
Al-Qur’an pun mengingatkan manusia agar tidak diperbudak oleh harta duniawi dan kehidupannya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Fatir : 5, yang artinya “Hai manusia sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdaya kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.”
Berikut adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi landasan para sufi baik tingkatan maupun keadaannya. Dimana sufi adalah seperti tingakatan zuhud yang banyak dklaim sebagai beranjaknya ilmu tasawuf, telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 77 pada bagian akhir ayat yang artinya “katakanlah kesenangan didunia ini hanya sementara, dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertawakal.”
Sedangkan dalam tingkatan takwa berlandaskan pada firman Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat : 13 yang sebagian arti dari ayat tersebut berbunyi “sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu  di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.”
Tingkat tawakal menurut sufi berlandaskan pada firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Talaq : 3 yang sebagian arti dari ayat tersebut berbunyi “Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (kebutuhan)nya.” Serta pada Al-Qur’an surat Az-Zumar : 38 yang akhir dari ayat tersebut bila diartikan berbunyi “Dan hanya kepada Allah-lah orang-orang beriman itu bertawakal.”
Tingkatan syukur berlandaskan pada firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ibrahim : 7 yang sebagian ayatnya menyebutkan bahwa “sesungguhnya jika kamu bersyukur  pasti Kami akan menambahka( nikmat) kedapamu.”
Tingkatan syukur berlandaskan pada firman Allah yang berbunyi “maka bersabarlah kamu karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlan ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.” Serta dalam surat Al-Baqarah :155, berbunyi “Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Kemudian yang terakhir adalah tingkat rida yang berlandaskan pada firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah : 119 yang sebagian dari ayat tersebut berbunyi “Allah rida terhadap mereka, dan mereka pun rida terhadap-Nya.”
2. Landasan Hadits
Dalam hadits Rasulullah banyak sekali keterangan yang membahas tentang kehidupan rohaniah manusia. Berikut adalah matan hadits yang dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf.
a.       Hadits yang berbunyi “Barang siapa yang mengenal dirinya sendiri berarti ia mengenal Tuhannya.”
b.      Hadits yang berbunyi “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi  maka aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku.”
c.       Hadits yang berbunyi “Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah sehingga Aku mencintainya. Maka tatkala mencintainya, jadilah Aku pendengarnya yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya yang ia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan akainya yang dia pakai untuk berusaha; maka dengan-Ku-lah dia mendengar, melihat, berbicara, berfikir, meninjau dan berjalan.”
Hadits diatas memberikan petunjuk bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan-Nya. Diri manusia dapat lebur kedalam diri Tuhan, yang disebut dengan fana’. Fana’ yaitu sebagai makhluk mencintai Tuhan seperti apa yang dicintainya. Istilah “lebur” atau “fana” haruslah ada ketegasan bahwasannya di antara Tuhan dengan Manusia tetap ada jarak dan itu hanya sebagai penunjuk keakraban saja.
Dalam kehidupan nabi muhammad SAW. Juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau adalah sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad telah mengasingkan diri Ke Gua hira menjelang datangnya wahyu. Beliau menjauhi pola hidup kebendaan yang pada waktu itu diagung-agungkan oleh orang Arab tengah tenggelam di dalamnya, seperti dalam praktek perdagangan dengan prinsip menghalalkan segala secara.
Selama di Gua Hira Rasulullah hanya bertafakur, beribadah dan hidup sebagai jahid. Beliau hidup sangat sederhana, terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak makan atau minum kecuali yang halal dan setiap malam beribadah kepada Allah SWT., sehingga Siti Aisyah bertanya , “Mengapa engkau berbuat begini, ya Rasulullah pasahal Alla senantiasa mengampuni dosamu?” Rasulullah menjawab, “apakah engkau tidak menginginkanku menjadi hamba yang bersyukur kepada Allah?”
Dikalangan sahabat pun banyak juga yang mengikuti praktekbertasawuf sebagaimana yang dipraktekan Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar Ash-Shiddiq, misalnya, pernah berkata, “Aku mendapatkan kemuliaan dalam keatakwaan, kefana’-an dalam keagungan dan kerendahan hati.” Khalifah Umar bin Khaththab pernah berkhutbah dihadapan jemaah kaum Muslimin dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana. Khalifah Utsman bin affan banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah dan membaca Al-Qur’an. Baginya, Al-Qur’an adalah ibarat surat dari kekasih yang selalu dibawa dan dibaca kemana pun ia pergi. Demikian pula sahabat-sahabat lainnya, seperti Abu Dzar Al-Ghifari, Tamin Darmy, dan Hudzaifah Al-Yamani.
Uraian dasar-dasar tasawuf diatas, baik dari Al-Qur’an, Al-Hadits, maupun teladan dari para sahabatmerupakan benih-benih tasawuf dalam kedudukannya sebagai ilmu tentang tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Dengan kata lain, ilmu tentang moral dan tingkah laku manusia terdapat rujukannya dalam Al-Qur’an. Dari sini jelaslah bahwa dalam pertumbuhan pertamanya, tasawuf ternyata ditimba dari sumber Al-Qur’an itu sendiri.

No comments:

Post a Comment

silahkan beri komentar yang membangun.