Tasawuf
dan akhlak
A.
Pengertian tasawuf
Dari
segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan oleh
para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Menurut Harun Nasution ada lima
istilah yang berkaitan dengan kata tasawuf, yaitu al-suffah (orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke
Madinah), saf (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: hikmat) dan suf (kain wol).[1]
Setiap
istilah memiliki keterkaitan sendiri dengan istilah lainnya misalkan kata al-suffah yang berarti orang yang ikut
pindah dengan Nabi ke Madinah menggambarkan keadaan orang yang rela mencurahkan
jiwa ragany dan meninggalkan harta serta kampung halamannya hanya untuk Allah.
Mereka rela meninggalkan semua itu karena mereka memiliki unsur iman yang kuat
dalam diri mereka sebab jika mereka tidak beriman tentu mereka tidak akan mau
meninggalkan harta, kampung halaman, gelar, kehormatan dan lain sebagainya.
Kemudian kata saf yang berarti
barisan menggambarkan orang yang terdepan dalam barisan solat ataupun beribadah
kepada Allah dan melakukan amal kebaikan. Kemudian kata sufi (suci) menggambarkan orang yang selalu memelihara diri dari
perbuatan dosa dan maksiat. Kata suf
(kain wol) menggambarkan sebuah pakaian yang amat sederhana yang sering
digunakan para sufi walaupun tak semua menggunakannya ini menunjukan bahwa ada
unsur ketidakcintaan kepada dunia dan terakhir kata sophos yang berarti hikmat dalam bahasa Yunani ini menggambarkan
keadaan hati yang selalu cenderung kepada kebenaran.
Tasawuf
sendiri sering dipahami sebagai sikap mental yang selalu memelihara kesucian
diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu
bersikap bijaksana.
Menurut
Syaikh Ibn Ajiba (pensyarah kitab al-Hikam): Taswauf ialah ilmu yang membawa
anda agar bersama Tuhan Yang Maha Ada, melalui penyucian batin dan memepermanis
dengan amal shaleh. Jalan tasawuf diawali dengan ilmu, tengahnya amal, dan
akhirnya adalah karunia Ilahi.
Menurut
Sayyed Hossein Nasr: Tasawuf ialah melatih upaya jiwa dengan berbagai kegiatan
yang dapat membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi dan
mendekatkanya kepada allah sehingga jiwanya bersih serta memancarkan akhlak
mulia.
Menurut
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi at-Taftazani (Sufi dari zaman ke zama): Tasawuf ialah
sebuah pandangan filosofis terhadap kehidupan yang bertujuan mengembangkan
moralitas jiwa manusia dan dapat direalisasikan melalui latihan-latihan praktis
tertentu, sehingga perasaan menjadi larut dalam hakikat transendental.
Pendekatan yang digunakan ialah dzauq (cita rasa) yang menghasilkan kebahagiaan
spiritual. Pengalaman yang muncul pun tidak kuasa diekspresikan melalui bahasa,
karena begitu emosional dan personal.
Menurut
H. M. Amin Syukur (“Intelektualisme Tasawuf”): Tasawuf ialah sistem latihan
dengan kesungguhan (riyadhah mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi dan
memeperdalam aspek kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
(taqarrub) sehingga segala perhatian hanya tertuju kepadaNya.
Menurut
Drs Samsul Munir Amin M.A.(Ilmu Tasawuf): Tasawuf ialah usaha melatih jiwa yang
dilakukan dengan sungguh-sungguh, yang dapat membebaskan manusia dari pengaruh
kehidupan duniawi untuk bertaqarrub kepada Tuhan sehingga jiwanya menjadi
bersih, mencerminkan akhlak mulia dalam kehidupan, dan menemukan kebahagiaan
spiritualitas.[2]
Selama
ini ada ada tiga sudut pandang dalam mendefinisikan tasawuf yaitu sudut pandang
manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhuk yang harus berjuang
dan manusia sebagai makhluk ber-Tuhan.
Sudut
pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas mendefinisikan tasawuf sebagai
upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan
memusatkan perhatian kepada Allah SWT. Jika sudut pandang manusia sebagai
makhluk yang harus berjuang tasawuf didefinisikan sebagai upaya memperindah diri
dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Jika dari sudut pandang manusia sebagai makhluk ber-Tuhan
maka tasawuf didefinisikan sebagai kesadaran fitrah yang mengarahkan jiwa agar
tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.[3]
B.
Ruang lingkup
tasawuf
Tasawuf
adalah nama lain dari ‘mistisisme dalam islam’. Di kalangan orientalis barat
dikenal dengan sebutan ‘Sufisme’. Kata Sufisme merupakan istilah khusus
mistisisme islam. Sehingga kata sufisme tidak ada pada mistisisme agama-agama
lain.
Tasawuf
bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan
yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia sedang
berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontak komunikasi dan
dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa manusia
perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk
‘Ijtihad’ (bersatu) dengan Tuhan. Demikian ini menjadi inti persoalan Sufisme
baik pada agama islam maupun di luarnya.
Dengan
pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa tasawuf atau mistisisme islam adalah
suatu ilmu yang mempelajari suatu cara, bagaimana seseorang dapat mudah berada
di hadirat Allah SWT (Tuhan). Maka gerakan kejiwaan penuh dirasakan untuk
memikirkan suatu hakikat kontak hubung yang mampu menelaah informasi dari
Tuhannya.
Tasawuf
atau mistisisme dalam islam beresensi pada hidup dan berkembang mulai dari
bentuk hidup kezuhudan (menjauhi kemewahaduniawi). Tujuan tasawuf untuk bisa
berhubungan langsung dengan Tuhan. Dengan maksud ada perasaan benar-benar
berada di hadirat Tuhan. Para sufi beranggapan bahwa ibadah yang
diselenggarakan dengan cara formal belum dianggap memuaskan karena belum
memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi.
Dengan
demikian, maka tampaklah jelas bahwa ruang lingkup ilmu tasawuf itu adalah
hal-hal yang berkenaan dengan upaya-upaya/cara-cara untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan yang bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus secara
langsung dari Tuhan.
C.
Pengertian akhlak
Akhlak berasal dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-thabi’ah
(kelakuan), al-adat (kebiasaan), al-maru’ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).
Prof.Dr. Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak ialah
kebiasaan kehendak. Ini berarti bahwa kehendak itu bila dibiasakan akan sesuatu
maka kebiasaannya itu di sebut akhlak. Contohnya bila kehendak itu dibiasakan
member, maka kebiasaan itu ialah akhlak dermawan[3]. Sedangkan menurut syekh
Muhammad Nawawi Al Jawiyydalam kitabnya Murooqiyul ‘Ubudiyah: akhlak adalah
kedaan didalam jiwa yang mendorong prilaku yang tidak terpikir dan tidak
ditimbang. Dalam buku lain dijeaskan bahwasanya akhlak menurut terminologi
akhlak adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh para ulama: Gambaran batin
seseorang . Karena pada dasarnya manusia itu mempunyai dua gambaran:
Gambaran zhahir (luar): Yaitu bentuk penciptaan yang
telah Allah jadikan padanya sebuah tubuh. Dan gambaran zhahir tersebut di
antaranya ada yang indah dan bagus, ada yang jelek dan buruk, dan ada pula yang
berada pada pertengahan di antara keduanya atau biasa-biasa saja.
Gambaran batin (dalam): Yaitu suatu keadaan yang
melekat kokoh dalam jiwa, yang keluar darinya perbuatan- perbuatan, baik yang
terpuji maupun yang buruk (yang dapat dilakukan) tanpa berfikir atau kerja
otak.
Menurrut Imam Maskawaih akhlak adalah suatu keadaan
bagi jiwa yang mendorong seseorang melakukan tindakan – tindakan dari keadaan
itu tanpa melalui pikiran dan pertimbangan. Keadaan ini terbagi menjadi dua:
ada yang berasal dari tabi’at aslinya, dan ada pula yang diperoleh dari
kebiasaan yang berulang – ulang. Boleh jadi pada mulanya tindakan – tindakan
itu melalui pikiran dan pertimbangan, kemidian dilakukan terum – menerus maka
jadilah suatu bakat dan akhlak.
Kemudian Al – Ghozali mendifinisikan akhlak sebagai
suatu ungkapan tentang keadaan pada jiwa bagian dalam yang melahirkan macam –
macam tindakan dengan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan terlebih
dahulu.[4]
D.
Pokok permasalahan
akhlak
Perbuatan
Baik dan Buruk
Yang dimaksud perbuatan
baik adalah :
a. Sesuatu
yang telah mencapai kesempurnaan
b. Sesuatu
yang menimbulkan rasa keharusan dalam kepuasan, kesenangan, persesuaian dan
seterusnya
c. Sesuatu
yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan, yang memberikan kepuasan
d. Sesuatu
dengan sesuai dengan keinginan yang bersifat berfitrah
e. Sesuatu
hal yang dikatakan baik, bila ia mendatangkan rahmat, memberikan perasaan
senang atau bahagia.
Adapun
yang dimaksud dengan perbuatan buruk adalah :
a. Sesuatu
yang tidak baik, tidak seperti seharusnya, tidak sempurna dalam kualitas, di
bawah standart, kurang dalam nilai dan tidak mencukupi.
b. Sesuatu
yang keji, jahat, tidak bermoral dan tidak menyenangkan
c. Adalah
segala sesuatu yang tercela, karena melanggar norma-norma atau aturan-aturan
menurut yang ditetapkan oleh syara’ (agama).
Ukuran
Baik dan Buruk
Persepsi
Manusia Tentang Baik dan Buruk
Banyak
orang yang berselisih pendapat untuk menilai suatu perbuatan, ada yang
melihatnya baik dan ada yang melihatnya buruk. Dpandang baik oleh suatu
masyarakat atau bangsa dipandang buruk yang lain. Dipandang baik pada waktu ini
dinilai buruk pada waktu yang lain.
Selanjutnya
dalam menetapkan nilai perbuatan manusia, selain memperhatikan nilai yang
mendasarinya, kriteria lain yang harus diperhatikan adalah cara melakukan
perbuatan itu. Meskipun seseorang mempunyai niat baik, tetapi lakukan dengan
cara yang salah, dia dinilai tercela karena salah melakukannya, bukan tercela
karena niatnya. Kadang-kadang tercelanya manusia itu dapat berpangkal dari
keyakinan yang salah, bukan karena niatnya.
Dari
uraian di muka tentang tingkah laku manusia dapat diketahui bahwa
element-element
pokok
yang perlu diperhatikan padanya adalah :
·
Kehendak (Karsa),
yakni sesuatu yang mendorong yang ada di dalam jiwa manusia.
·
Manifestasi dari
kehendak, yaitu cara dalam merealisir kehendak tersebut. Barangkali hal ini
dapat disamakan dengan ungkapan karya, yakni perbuatan dalam mewujudkan karsa
tadi. Kalau karsa dan karya menjadi satu, maka bisa dipastikan adanya aktivitas
yang tidak kecil artinya.
Selanjutnya untuk menialai baik buruknya niat dan cara
seseorang dalam melakukan perbuatannya haruslah berdasarkan ajaran Islam
sebagaimana firman Allah SWT. Dalam QS. An-Nisa (4) : “Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taati Rasul-Nya dan oramg-orang yang memegang
kekuasaan diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan perndapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebi utama bagi kamu dan lebih baik akibatnya”.[5]
E.
Manfaat
mempelajari akhlak
Tujuan kita mempelajari ilmu akhlak danpermasalahannya
menyebabkan kita dapat menetapkan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik
dasebagian perbuatan lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik,
sedangkan berbuat zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada
pemiliknya termasuk baik, sedangkan mengingkari utang termasuk perbuatan buruk.
Ilmu akhlak juga akan berguna secara efektif dalam upaya membersihkan diri
manusia dari perbuatan dosa dan maksiat. Diketahui bahwa manusia memiliki
jasmani dan rohani. Jasmani dibersihkan secara lahiriah melalui fikih,
sedangkan rohani dibersihkan secara batiniah melalui akhlak.
Ilmu Akhlak bertujuan untuk memberikan pedoman atau
penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yan baik atau yang buruk.
Terhadap perbuatan yang baik ia berusaha melakukannya, dan terhadap perbuatan
yang buruk ia berusaha untuk menghindarinya.[6]
[1] Harun
Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1893), cet.III, hlm. 56-57.
[2] http://harkaman01.wordpress.com/2013/04/21/pengantar-tasawuf-1%E2%80%8E-%E2%80%8Epengertian-tasawuf%E2%80%8E/comment-page-1/
[3] Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), hlm. 180.
[4] http://kamaliaida.wordpress.com/2013/12/16/pengertian-akhlak/
[5] http://senyumkudakwahku.blogspot.com/2012/06/makalah-akhlaq-persoalan-akhlaq-dan.html
[6] Abuddin
Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), hlm. 13-15.
No comments:
Post a Comment
silahkan beri komentar yang membangun.