Thursday, 6 November 2014

Tasawuf dan akhlak



Tasawuf dan akhlak
A.    Pengertian tasawuf
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan oleh para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Menurut Harun Nasution ada lima istilah yang berkaitan dengan kata tasawuf, yaitu al-suffah (orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah), saf (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: hikmat) dan suf (kain wol).[1]
Setiap istilah memiliki keterkaitan sendiri dengan istilah lainnya misalkan kata al-suffah yang berarti orang yang ikut pindah dengan Nabi ke Madinah menggambarkan keadaan orang yang rela mencurahkan jiwa ragany dan meninggalkan harta serta kampung halamannya hanya untuk Allah. Mereka rela meninggalkan semua itu karena mereka memiliki unsur iman yang kuat dalam diri mereka sebab jika mereka tidak beriman tentu mereka tidak akan mau meninggalkan harta, kampung halaman, gelar, kehormatan dan lain sebagainya. Kemudian kata saf yang berarti barisan menggambarkan orang yang terdepan dalam barisan solat ataupun beribadah kepada Allah dan melakukan amal kebaikan. Kemudian kata sufi (suci) menggambarkan orang yang selalu memelihara diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Kata suf (kain wol) menggambarkan sebuah pakaian yang amat sederhana yang sering digunakan para sufi walaupun tak semua menggunakannya ini menunjukan bahwa ada unsur ketidakcintaan kepada dunia dan terakhir kata sophos yang berarti hikmat dalam bahasa Yunani ini menggambarkan keadaan hati yang selalu cenderung kepada kebenaran.
Tasawuf sendiri sering dipahami sebagai sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana.
Menurut Syaikh Ibn Ajiba (pensyarah kitab al-Hikam): Taswauf ialah ilmu yang membawa anda agar bersama Tuhan Yang Maha Ada, melalui penyucian batin dan memepermanis dengan amal shaleh. Jalan tasawuf diawali dengan ilmu, tengahnya amal, dan akhirnya adalah karunia Ilahi.
Menurut Sayyed Hossein Nasr: Tasawuf ialah melatih upaya jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi dan mendekatkanya kepada allah sehingga jiwanya bersih serta memancarkan akhlak mulia.
Menurut Abu al-Wafa’ al-Ghanimi at-Taftazani (Sufi dari zaman ke zama): Tasawuf ialah sebuah pandangan filosofis terhadap kehidupan yang bertujuan mengembangkan moralitas jiwa manusia dan dapat direalisasikan melalui latihan-latihan praktis tertentu, sehingga perasaan menjadi larut dalam hakikat transendental. Pendekatan yang digunakan ialah dzauq (cita rasa) yang menghasilkan kebahagiaan spiritual. Pengalaman yang muncul pun tidak kuasa diekspresikan melalui bahasa, karena begitu emosional dan personal.
Menurut H. M. Amin Syukur (“Intelektualisme Tasawuf”): Tasawuf ialah sistem latihan dengan kesungguhan (riyadhah mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi dan memeperdalam aspek kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) sehingga segala perhatian hanya tertuju kepadaNya.
Menurut Drs Samsul Munir Amin M.A.(Ilmu Tasawuf): Tasawuf ialah usaha melatih jiwa yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, yang dapat membebaskan manusia dari pengaruh kehidupan duniawi untuk bertaqarrub kepada Tuhan sehingga jiwanya menjadi bersih, mencerminkan akhlak mulia dalam kehidupan, dan menemukan kebahagiaan spiritualitas.[2]
Selama ini ada ada tiga sudut pandang dalam mendefinisikan tasawuf yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhuk yang harus berjuang dan manusia sebagai makhluk ber-Tuhan.
Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas mendefinisikan tasawuf sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian kepada Allah SWT. Jika sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang tasawuf didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jika dari sudut pandang manusia sebagai makhluk ber-Tuhan maka tasawuf didefinisikan sebagai kesadaran fitrah yang mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.[3]

B.     Ruang lingkup tasawuf
Tasawuf adalah nama lain dari ‘mistisisme dalam islam’. Di kalangan orientalis barat dikenal dengan sebutan ‘Sufisme’. Kata Sufisme merupakan istilah khusus mistisisme islam. Sehingga kata sufisme tidak ada pada mistisisme agama-agama lain.
Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk ‘Ijtihad’ (bersatu) dengan Tuhan. Demikian ini menjadi inti persoalan Sufisme baik pada agama islam maupun di luarnya.
Dengan pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa tasawuf atau mistisisme islam adalah suatu ilmu yang mempelajari suatu cara, bagaimana seseorang dapat mudah berada di hadirat Allah SWT (Tuhan). Maka gerakan kejiwaan penuh dirasakan untuk memikirkan suatu hakikat kontak hubung yang mampu menelaah informasi dari Tuhannya.
Tasawuf atau mistisisme dalam islam beresensi pada hidup dan berkembang mulai dari bentuk hidup kezuhudan (menjauhi kemewahaduniawi). Tujuan tasawuf untuk bisa berhubungan langsung dengan Tuhan. Dengan maksud ada perasaan benar-benar berada di hadirat Tuhan. Para sufi beranggapan bahwa ibadah yang diselenggarakan dengan cara formal belum dianggap memuaskan karena belum memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi.
Dengan demikian, maka tampaklah jelas bahwa ruang lingkup ilmu tasawuf itu adalah hal-hal yang berkenaan dengan upaya-upaya/cara-cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus secara langsung dari Tuhan.

C.     Pengertian akhlak
Akhlak berasal dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan yang berarti al-sajiyah (perangai), ath-thabi’ah (kelakuan), al-adat (kebiasaan), al-maru’ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).
Prof.Dr. Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak ialah kebiasaan kehendak. Ini berarti bahwa kehendak itu bila dibiasakan akan sesuatu maka kebiasaannya itu di sebut akhlak. Contohnya bila kehendak itu dibiasakan member, maka kebiasaan itu ialah akhlak dermawan[3]. Sedangkan menurut syekh Muhammad Nawawi Al Jawiyydalam kitabnya Murooqiyul ‘Ubudiyah: akhlak adalah kedaan didalam jiwa yang mendorong prilaku yang tidak terpikir dan tidak ditimbang. Dalam buku lain dijeaskan bahwasanya akhlak menurut terminologi akhlak adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh para ulama: Gambaran batin seseorang . Karena pada dasarnya manusia itu mempunyai dua gambaran:
Gambaran zhahir (luar): Yaitu bentuk penciptaan yang telah Allah jadikan padanya sebuah tubuh. Dan gambaran zhahir tersebut di antaranya ada yang indah dan bagus, ada yang jelek dan buruk, dan ada pula yang berada pada pertengahan di antara keduanya atau biasa-biasa saja.
Gambaran batin (dalam): Yaitu suatu keadaan yang melekat kokoh dalam jiwa, yang keluar darinya perbuatan- perbuatan, baik yang terpuji maupun yang buruk (yang dapat dilakukan) tanpa berfikir atau kerja otak.
Menurrut Imam Maskawaih akhlak adalah suatu keadaan bagi jiwa yang mendorong seseorang melakukan tindakan – tindakan dari keadaan itu tanpa melalui pikiran dan pertimbangan. Keadaan ini terbagi menjadi dua: ada yang berasal dari tabi’at aslinya, dan ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang berulang – ulang. Boleh jadi pada mulanya tindakan – tindakan itu melalui pikiran dan pertimbangan, kemidian dilakukan terum – menerus maka jadilah suatu bakat dan akhlak.
Kemudian Al – Ghozali mendifinisikan akhlak sebagai suatu ungkapan tentang keadaan pada jiwa bagian dalam yang melahirkan macam – macam tindakan dengan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan terlebih dahulu.[4]

D.    Pokok permasalahan akhlak
Perbuatan Baik dan Buruk
Yang dimaksud perbuatan baik adalah :
a.       Sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan
b.      Sesuatu yang menimbulkan rasa keharusan dalam kepuasan, kesenangan, persesuaian dan seterusnya
c.       Sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan, yang memberikan kepuasan
d.      Sesuatu dengan sesuai dengan keinginan yang bersifat berfitrah
e.       Sesuatu hal yang dikatakan baik, bila ia mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia.
Adapun yang dimaksud dengan perbuatan buruk adalah :
a.       Sesuatu yang tidak baik, tidak seperti seharusnya, tidak sempurna dalam kualitas, di bawah standart, kurang dalam nilai dan tidak mencukupi.
b.      Sesuatu yang keji, jahat, tidak bermoral dan tidak menyenangkan
c.       Adalah segala sesuatu yang tercela, karena melanggar norma-norma atau aturan-aturan menurut yang ditetapkan oleh syara’ (agama).
Ukuran Baik dan Buruk
Persepsi Manusia Tentang Baik dan Buruk

Banyak orang yang berselisih pendapat untuk menilai suatu perbuatan, ada yang melihatnya baik dan ada yang melihatnya buruk. Dpandang baik oleh suatu masyarakat atau bangsa dipandang buruk yang lain. Dipandang baik pada waktu ini dinilai buruk pada waktu yang lain.
Selanjutnya dalam menetapkan nilai perbuatan manusia, selain memperhatikan nilai yang mendasarinya, kriteria lain yang harus diperhatikan adalah cara melakukan perbuatan itu. Meskipun seseorang mempunyai niat baik, tetapi lakukan dengan cara yang salah, dia dinilai tercela karena salah melakukannya, bukan tercela karena niatnya. Kadang-kadang tercelanya manusia itu dapat berpangkal dari keyakinan yang salah, bukan karena niatnya.
Dari uraian di muka tentang tingkah laku manusia dapat diketahui bahwa element-element
pokok yang perlu diperhatikan padanya adalah :
·         Kehendak (Karsa), yakni sesuatu yang mendorong yang ada di dalam jiwa manusia.
·         Manifestasi dari kehendak, yaitu cara dalam merealisir kehendak tersebut. Barangkali hal ini dapat disamakan dengan ungkapan karya, yakni perbuatan dalam mewujudkan karsa tadi. Kalau karsa dan karya menjadi satu, maka bisa dipastikan adanya aktivitas yang tidak kecil artinya.
Selanjutnya untuk menialai baik buruknya niat dan cara seseorang dalam melakukan perbuatannya haruslah berdasarkan ajaran Islam sebagaimana firman Allah SWT. Dalam QS. An-Nisa (4) : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati Rasul-Nya dan oramg-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan perndapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebi utama bagi kamu dan lebih baik akibatnya”.[5]
E.     Manfaat mempelajari akhlak
Tujuan kita mempelajari ilmu akhlak danpermasalahannya menyebabkan kita dapat menetapkan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang baik dasebagian perbuatan lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada pemiliknya termasuk baik, sedangkan mengingkari utang termasuk perbuatan buruk. Ilmu akhlak juga akan berguna secara efektif dalam upaya membersihkan diri manusia dari perbuatan dosa dan maksiat. Diketahui bahwa manusia memiliki jasmani dan rohani. Jasmani dibersihkan secara lahiriah melalui fikih, sedangkan rohani dibersihkan secara batiniah melalui akhlak.
Ilmu Akhlak bertujuan untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yan baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan yang baik ia berusaha melakukannya, dan terhadap perbuatan yang buruk ia berusaha untuk menghindarinya.[6]


[1] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1893), cet.III, hlm. 56-57.
[2] http://harkaman01.wordpress.com/2013/04/21/pengantar-tasawuf-1%E2%80%8E-%E2%80%8Epengertian-tasawuf%E2%80%8E/comment-page-1/
[3] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 180.
[4] http://kamaliaida.wordpress.com/2013/12/16/pengertian-akhlak/
[5] http://senyumkudakwahku.blogspot.com/2012/06/makalah-akhlaq-persoalan-akhlaq-dan.html
[6] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 13-15.

No comments:

Post a Comment

silahkan beri komentar yang membangun.