Thursday, 6 November 2014

MAKALAH Objektifikasi Konsep Kepribadian Terhadap Pedofilia dan Homoseksual dari Surat Al-`Ankabut 28-31

BAB I
PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang
Pelecehan seksual terhadap anak adalah sebuah kasus yang cukup panas akhir-akhir ini di indonesia. Kasus ini terjadi akibat adanya kelainan kejiwaan pada pelaku yaitu pedofilia. Pedofilia adalah kelainan kejiwaan yang mengakibatkan orang dewasa yang mengidapnya menyukai anak dibawah umur sebagai alat pelampiasan seksnya dan biasanya para pengidap pedofilia ini melakukan anal seks atau seks melalui dubur atau anus.
Banyak anak-anak yang menjadi korban dari pelecehan seksual ini dan para pelaku ternyata pernah mengalami kasus serupa sewaktu dia kecil. Dikhawatirkan para korban pelecehan seksual saat ini nantinya akan menjadi pelaku di masa yang akan datang dan homoseksual akan menjadi pemandangan yang sangat biasa karena pelaku dan korban pada umumnya laki-laki walaupun ada perempuan namun dengan jumlah yang sedikit.
Hal ini dapat terjadi karena trauma yang dialami oleh korban akan membuatnya merasa tak nyaman dan mendorong korban untuk melakukan hal yang serupa sehingga bukan tidak mungkin kisah nabi Luth A.s. akan terulang kembali pada masa kini.

B.           Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sudut pandang islam tentang pedofilia dan homoseksual?
2.      Bagaimana sudut pandang kajian antropologi tentang pedofilia dan homoseksual?

C.          Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara mengumpulkan referensi atau kajian pustaka serta menafsirkan dengan metode double movement atau lebih tepatnya menganalogikan sebuah kisah masa lalu dengan peristiwa saat ini.



BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.          Pedofilia dan Homoseksual Menurut Islam
Pedofilia adalah kelainan kejiwaan yang menyebabkan seorang pria dewasa menyukai anak-anak sebagai alat pelampiasan seksnya namun yang menjadi masalah adalah objek seksnya adalah anak-anak dibawah umur dan biasanya pelaku melakukan seks ini dengan cara anal seks atau seks melalui dubur layaknya homoseksual. Sedangkan homoseksual adalah kelainan kejiwaan yang membuat si pengidap menyukai sesama jenis secara seksual
Jelas hal ini diharamkan dalam agama Islam sesuai sabda Rasulullah bersabda dalam haditsnya dari At Tirmidzy dan An Nasa’i meriyawatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Allah tidak akan melihat kepada seseorang yang mendatangi laki-laki atau perempuan di duburnya.” Sanad hadits ini shohih.
“Allah melaknat siapa yang berbuat dengan perbuatannya kaum Luth“. Beliau katakan tiga kali. (Diriwayatkan Al Imam Ahmad dengan sanad shohih).
“Benar-benar terlaknat orang yang menyetubuhi istrinya di duburnya.” (HR. Ahmad 2: 479. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).
“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

B.          Tinjauan Teori Antropologi (Kepribadian)
Kata ini berasal dari bahasa Yunani: paidophilia (παιδοφιλια)—pais (παις, "anak-anak") dan philia (φιλια, "cinta yang bersahabat" atau "persahabatan". Di zaman modern, pedofil digunakan sebagai ungkapan untuk "cinta anak" atau "kekasih anak" dan sebagian besar dalam konteks ketertarikan romantis atau seksual. Infantofilia, atau nepiofilia, digunakan untuk merujuk pada preferensi seksual untuk bayi dan balita (biasanya umur 0-3). Pedofilia digunakan untuk individu dengan minat seksual utama pada anak-anak prapuber yang berusia 13 atau lebih muda. Hebephilia didefinisikan sebagai individu dengan minat seksual utama pada anak prapubertas yang berusia 11 hingga 14 tahun.
Pedofilia didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan usia 16 atau lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual primer atau eksklusif pada anak prapuber (umumnya usia 13 tahun atau lebih muda, walaupun pubertas dapat bervariasi). Anak harus minimal lima tahun lebih muda dalam kasus pedofilia remaja (16 atau lebih tua) baru dapat diklasifikasikan sebagai pedofilia. Meskipun ini arti harfiah telah diubah terhadap daya tarik seksual pada zaman modern, berdasarkan gelar "cinta anak" atau "kekasih anak," oleh pedofil yang menggunakan simbol dan kode untuk mengidentifikasi preferensi mereka.
Pedofilia pertama kali secara resmi diakui dan disebut pada akhir abad ke-19. Sebuah jumlah yang signifikan di daerah penelitian telah terjadi sejak tahun 1980-an. Saat ini, penyebab pasti dari pedofilia belum ditetapkan secara meyakinkan. Penelitian menunjukkan bahwa pedofilia mungkin berkorelasi dengan beberapa kelainan neurologis yang berbeda, dan sering bersamaan dengan adanya gangguan kepribadian lainnya dan patologi psikologis. Dalam konteks psikologi forensik dan penegakan hukum, berbagai tipologi telah disarankan untuk mengkategorikan pedofil menurut perilaku dan motivasinya.[1]
Dalam kasus ini peran psikolog sangatlah penting ini disebabkan karena yang mempengaruhi sipelaku dalam melakukan kejahatannya adalah kejiwaannya. Kita tahu bahwa Emon adalah korban pelecehan seksual dimasa lalunya dan kemudian bahkan dia menjadi pelaku pada masa sekarang dan semua itu didasari oleh kejiwaannya.
Mungkin pada kasus ini Emon bukanlah pengidap pedofilia sehingga Emon dalam pembahasan kali ini bukanlah tokoh utamanya. Kesimpulan yang didapat dari kasus ini adalah, satu orang pengidap pedofilia akan melahirkan ratusan manusia yang mengidap pedofilia ataupun penyuka sesama jenis atau homoseksual dan ini akan berdampak sangat berbahaya.
Kasus pedofilia dan homoseksual ini relatif sama dengan sebuah kasus yang melibatkan seorang pria yang sudah menikah yang mengembangkan perversi seksual yang sangat aneh yaitu ia sangat mudah terangsang oleh kereta bayi dan tas tangan wanita sehingga perversi ini menimbulkan banyak kasus kerusakan kereta bayi/tas tangan wanita.
Masalah pria tampaknya dimulai pada usia 10 tahun yang awalnya hanya sekedar sering menggarukan ibu jarinya pada kereta bayi ataupun tas wanita tetapi terkadang serangannya jauh lebih serius lagi. Dia pernah melibatkan wanita yang sedang mendorong kereta bayi lalu melumasi kereta bayinya dengan oli mesin bahkan memotong kereta bayinya dan merusaknya bahkan dia pernah membakar dua kereta bayi kosong yang dia temukan di stasiun kereta api. Dia sering mengendarai motor ke arah kereta bayi namun berbelok pada menit terakhir untuk menghindari mencelakai si bayi yang ada didalamnya. Dia pun sengan mengendarai motor melalui kubangan dan mencipratkan airnya kepada siapapun yang mendorong kereta bayi di sepanjang trotoir jalan berbeda dengan tas tangan wanita. Dia biasanya akan merasa puas hanya dengan menggaruk-garukkan jarinya terhadap tas tangan wanita tersebut. Dia pernah dihukum karena berkendara dengan ceroboh dan melakukan kerusakan terhadap kereta bayi.
Kasus yang sangat unik ini terjadi karena memori masa lampaunya yang membuat dia ingat terhadap sebuah peristiwa yang mungkin baginya sangat berkesan. Ketika ia sedang bermain kapal-kapalannya di danau di sekitar tempat tinggalnya secara tidak disengaja dia menabrak bagian sisi kereta bayi dengan kapal-kapalannya dan dia pun terkesan oleh kehebohan feminim yang menjadi respon terkejutnya sang ibu pemilik bayi sekaligus kereta bayi tersebut. Dia pernah juga melaporkan bahwa dia pernah mengalami suatu insiden ketika dia merasa aneh bahwa dia terangsang secara seksual oleh tas tangan saudara perempuannya. Pasien menerima kemungkinan signifikasi kejadian-kejadian ini dan menganggapnya sebagai simbolisme seksual pada kereta bayi dan tas tangan wanita. Mungkin dalam istilah freudian kedua benda ini mempresentasikan nafsunya terhadap ibunya atau secara umum genitalia wanita.[2]
Kasus yang dialami pria ini serupa dengan kasus pedofilia yang terjadi di Indonesia dan dapat dijelaskan dengan teori classical conditioning yang dideskripsikan pertama kali oleh seorang fisiolog rusia yang bernama Ivan Pavlov (1849-1936). Selama penelitiannya tentang sistem pencernaan anjing Pavlov melihat bahwa anjing salivasi (mengeluarkan air liur) sebagai respon ketika melihat makanan. Ia menyebut salivasi sebagai unconditioned responsse (respon tak terkondisi) karena terjadi secara ilmiah dan tanpa latihan sebelumnya dan makanan disebut unconditioned stimulus (stimulus tak terkondisi). Ia menyadari bahwa tindakan yang normalnya netral seperti membunyikan bel bisa menjadi diasosiasikan dengan penampakan makanan seperti menghasilkan salivasi sebagai sebuah conditional responsse (respon terkondisi) yang menjadi respon terhadap conditional stimulus (stimulus terkondisi)
Dalam peneliatian selanjutnya, Pavlov menemukan bahwa agar respon terkondisi dipertahankan, ia harus dipasangkan secara periodik dengan stimulus tak terkondisi jika tidak asosiasi yang telah dipelajari akan mudah dilupakan (extinction). Classical conitioning dapat diterapkan pada perilaku manusia yang menjelaskan fenomena kompleks seperti reaksi emosional seorang terhadap lagu atau parfum tertentu berdasarkan pengalaman masa lalu dengan siapa objek itu diasosiasikan. Pengkondisian klasik juga menjadi dasar bagi berbagai macam tipe ketakutan atau fobia yang dapat terjadi melalui sebuah proses yang disebut stimulus generalization (generalisasi stimulus). Seperti halnya seorang anak takut dengan seekor anjing tertentu, mungkin dia akan belajar untuk takut kepada semua anjing.[3]
Beralih kepada kasus pedofilia, seorang pelaku dapat menyukai anak-anak akibat pengalaman masa lalunya. Dengan teori tersebut kita akan mencoba untuk menjelaskan kemungkinan yang terjadi pada kasus ini. Kita anggap seorang wanita yang seksi itu sebagai stimulus tak terkondisi dan anak-anak itu sebagai stimulus netral. Ketika seorang laki-laki normal melihat wanita seksi pasti dia akan menghasilkan respon tak terkondisi secara seksual dan itu wajar berbeda dengan ketika lelaki normal ini melihat seorang anak-anak yang meskipun telanjang dia tidak akan menghasilkan respon apapun secara seksual. Namun ketika stimulus netral di asosiasikan dengan stimulus tak terkondisi secara periodik dengan sengaja ataupun tidak disengaja, hal ini akan merangsang otaknya terutama bagian memorinya untuk mencerna respon apa yang di hasilkan oleh stimulus tak terkondisi (wanita seksi) ketika kita melakukan suatu hal terhadap stimulus netral (anak-anak). Jika respon wanita seksi itu cukup menggairahkan ketika misalnya kita pukul anaknya dan dia menjerit cukup menggairahkan lelaki normal ini akan sangat mengingat peristiwa itu dan jika ingatan itu sudah tertanam di alam bawah sadarnya, ini akan sangat berbahaya karena ketika sudah tertanam dalam alam bawah sadarnya, lelaki normal ini bisa dengan mudah melakukan hal tersebut dan terangsang tanpa ia sadari dan sedikit demi sedikit dia justru akan lebih menikmati rangsangan dari kegiatan tersebut dibandingkan rangsangan langsung dari wanita sehingga stimulus netral akan menjadi stimulus terkondisi. Tentunya semua itu terjadi didasari oleh naluri alamiah tiap-tiap manusia. Mengapa demikian? Karena kepribadian atau karakter seseorang didukung oleh tiga unsur dasar yaitu pengetahuan, perasaan dan dorongan naluri.
Pengetahuan adalah segala apa yang mengisi akal dan alam jiwa manusia secara sadar. Orang yang tahu disebut memiliki pengetahuan. Umumnya pengetahuan diperoleh melalui pengalaman, yakni persentuhan dengan panca indera. [4]
Pengetahuan tersusun dari beberapa unsur yaitu persepsi, apersepsi, pengamatan, konsep dan fantasi yang semua itu sangat berpengaruh terhadap pengetahuan yang tiap-tiap orang miliki. Karena ketika salah satunya hilang, maka pengetahuan yang didapat tidak akan sempurna.
Perasaan adalah suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengaruh pengetahuannya munculah penilaian positif atau negatif terhadap sesuatu.[5] Dari pendapat ini kita bisa membenarkan peribahasa yang sering kita dengar sebelumnya ”tak kenal maka tak sayang”. Karena sebelum kita memiliki sebuah perasaan terhadap seseorang ataupun benda kita harus mengenalnya atau mengetahuinya terlebih dahulu, masalah berapa persentase pengenalannya itu tergantung siapa dan dorongan nalurinya.
Dorongan naluri adalah suatu keadaan dalam kesadaran individu manusia yang tidak ditimbulkan karena pengaruh pengetahuannya, tapi karena sudah terkandung dalam gen yang dibawanya sejak lahir. Dan sedikitnya ada tujuh dorongan naluri dalam individu manusia
1.      Dorongan mempertahankan hidup
2.      Dorongan seks
3.      Dorongan untuk mencari makan
4.      Dorongan untuk berinteraksi
5.      Dorongan untuk imitasi atau meniru tingkah laku sesama
6.      Dorongan untuk berbakti
7.      Dorongan untuk cenderung kepada keindahan

Kasus ini berawal dari sebuah pengetahuan yang membuat perasaannya merasakan sesuatu yang berkesan baginya dan keterkesanan itu dilandasi oleh dorongan nalurinya sebab kasus ini tidak akan mungkin terjadi ketika orang tersebut memiliki dorongan naluri seks yang rendah.
Pedofilia bisa disembuhkan dengan terapi aversi karena prinsip terapi ini didasarkan kepada classical conditioning. Penanganan ini melibatkan suntikan obat yang disebut apomorphine yang menghasilkan pening atau mual. Stimulus terkondisi akan diberikan berupa gambar anak-anak atau semacamnya segera setelah obat diberikan. Ketika obat bereaksi, mual mempresentasikan respon tidak menyenangkan yang diasosiasikan dengan dtimulus terkondisi. Pelaksanaannya cukup berat karena perlakuan ini diberikan setiap dua jam, siang dan malam, dan tidak boleh diberi makanan. Di malam hari, amfetamin digunakan untuk membantunya terjaga. Pada akhir minggu pertama, penanganan itu boleh dihentikan dan pasien diperbolehkan untuk pulang. Penanganan ini tidak cukup sekali sehingga penanganan atau terapi aversi ini terkadang cukup menyiksa pasien walaupun disisi lain hasilnya sangat memuaskan. Terapi ini menjadi pro dan kontra di kalangan pakar kesehatan dan psikolog. Banyak psikolog yang menyatakan bahwa perlakuan pada terapi aversi ini dianggap memperlakukan manusia dengan cara tidak menyenangkan dengan melibatkan banyak rasa sakit dan ketidaknyamanan. Banyak yang percaya bahwa terapi ini semacam cuci-otak.[6]
Hans Eysenck seorang psikolog brilian yang kontroversional menganggap bahwa terapi ini adalah sebuah penanganan yang aman dan efektif untuk banyak kondisi yang sulit dikoreksi dan wajar untuk membiarkan keputusan akhirnya diambil oleh si penderita itu sendiri.
Untuk menggunakan terapi ini harus ada pertimbangan yang lebih karena memang dampak sosialnya sangat kurang baik karena terapi ini sama dengan memperlakukan manusia dengan tidak sewajarnya terlepas dari setuju atau tidaknya si penderita melakukan terapi aversi tersebut. Terapi ini pun tidak menjadi satu-satunya jalan yang dapat digunakan sebab masih ada cara lain yang meskipun belum terbukti khasiatnya namun tetap bisa dibuktikan.
BAB III
HASIL RISET

A.           Subjek Kajian
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِۦٓ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ ٱلْفَٰحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّنَ ٱلْعَٰلَمِينَ ﴿٢٨
Al-`Ankabut[29]:28
“Dan (ingatlah) ketika Lut berkata kepada kaumnya, "Kamu benar-benar melakukan perbuatan yang sangat keji (homoseksual) yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu.”
أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ ٱلرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ ٱلسَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِى نَادِيكُمُ ٱلْمُنكَرَ فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِۦٓ إِلَّآ أَن قَالُوا۟ ٱئْتِنَا بِعَذَابِ ٱللَّهِ إِن كُنتَ مِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ ﴿٢٩
Al-`Ankabut[29]:29
“Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?" Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, "Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang benar."”  
قَالَ رَبِّ ٱنصُرْنِى عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْمُفْسِدِينَ ﴿٣٠
Al-`Ankabut[29]:30
“Dia (Lut) berdoa, "Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas golongan yang berbuat kerusakan itu."”
وَلَمَّا جَآءَتْ رُسُلُنَآ إِبْرَٰهِيمَ بِٱلْبُشْرَىٰ قَالُوٓا۟ إِنَّا مُهْلِكُوٓا۟ أَهْلِ هَٰذِهِ ٱلْقَرْيَةِ إِنَّ أَهْلَهَا كَانُوا۟ ظَٰلِمِينَ ﴿٣١
Al-`Ankabut[29]:31
“Dan ketika utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengatakan, "Sungguh, kami akan membinasakan penduduk kota (Sodom) ini karena penduduknya sungguh orang-orang zalim."”

B.            Tafsir
Surat al-`Ankabut ayat 28 sampai 31 dijelaskan dalam tafsir al-Misbah bahwa fahisyah adalah sebuah perbuatan keji yaitu homoseksual dan sangatlah buruk. Kaum Nabi Luth A.s. melakukan perbuatan keji ini dengan tanpa rasa malu sebab dimanapun mereka saling bertemu, mereka melakukannya ditempat tersebut bukan ditempat sepi ataupun bersembunyi. Bagi orang normal teguran yang begitu jelas pastilah menimbulkan rasa malu yang cukup besar namun bagi kaum sodom ini teguran itu dianggap sebagai teguran yang tidak wajar ditanggapi dan bahkan sambil mengejek kaum sodom ini berkata kepada Nabi Luth A.s. “Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang benar”.
Melihat kelakuan kaumnya hari demi hari Nabi Luth A.s. berdoa agar Allah mendatangkan pertolongan berupa azab kepada kaumnya yang berbuat kerusakan itu karena kerusakannya itu telah mendarah daging dan mengancam kelanjutan hidup manusia.
Kalimat وَتَقْطَعُونَ ٱلسَّبِيلَ yang secara harfiah berarti memutuskan jalan, dipahami oleh banyak ulama dalam arti menyamun. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka melempar para pejalan di desa dengan batu. Siapa yang mengenai seseorang, maka dia yang mengambil uangnya dan dia berhak untuk melampiaskan hasratnya kepada orang tersebut.
Nabi Luth A.s.  telah berkali-kali mengingatkan dan menegur kaumnya. Ini antara lain terlihat dari perbedaan jawaban mereka disini dan jawaban mereka pada surat al-A‘raf ayat 82, mereka berkata kepada sesamanya untuk mengusir Nabi Luth A.s dan pengikutnya dan mereka mengatakan bahwa Nabi Luth dan pengikutnya adalah orang yang lemah yang terus-menerus sangat menyucikan diri.
Doa Nabi Luth A.s. dipahami oleh banyak ulama dalam arti permohonan untuk menjatuhkan siksa Allah atas mereka. Namun mengingat Nabi hampir selalu mengasihi kaumnya, jadi doa Nabi Luth dapat diperkirakan berupa penyerahan secara total kepada Allah untuk kelanjutannya.
Nabi Luth sedikit berbeda dengan para nabi yang disebut sebelumnya. Beliau tidak berpesan tentang tauhid. Ini bukan berarti bahwa beliau tidak mengajak mereka untuk menyembah Allah namun ada sesuatu yang sangat buruk yang hendak beliau luruskan bersama pelurusan akidah, yaitu kebiasaan buruk mereka dalam seks. Disisi lain perlu diingat bahwa penekanan tentang keburukan tersebut tidaklah jauh dari persoalan akidah, ketuhanan dan tauhid karena keduanya fitrah. Syirik merupakan pelanggaran fitrah dan homoseksual juga merupakan pelanggaran fitrah. Allah telah menciptakan makhluk normal hanya terdorong syahwatnya kepada lawan jenisnya. Kenikmatan yang mereka peroleh dari hubungan tersebut bersumber dari lubuk hati mereka masing-masing. Pasangan bukan hanya sebagai pemuas kenikmatan jasmani saja tetapi sebagai pemuas kenikmatan ruhani juga dan gabungan kenikmatan itulah yang menjadi jaminan sekaligus dorongan bagi masing-masing untuk memelihara jenis dan sebagai imbalan kewajiban dan tanggung jawab memelihara anak keturunan. Mereka yang melakukan homoseksual hanya mengharapkan kenikmatan jasmani yang menjijikan saja sambil melepas tanggung jawabnya belum lagi dampak negatif bagi kesehatannya berupa kesehatan jasmani dan ruhaninya pula yang diakibatkan.[7]

C.          Objektifikasi dalam Konteks Indonesia Kini
Dampak buruk yang dapat terjadi dari kasus ini cukup berbahaya dan bahkan dapat membuat negeri ini hancur lebur layaknya negeri sodom kaum nabi Luth A.s. yang dihancurkan karena prilaku umatnya yang keji itu. Mengapa demikian? Karena pedofilia ini akan melahirkan banyak pelaku yang serupa bahkan sekaligus melahirkan para pelaku homoseksual. Kita sebut saja Emon atau yang nama aslinya Andri Sobari predator seks asal sukabumi ini yang telah mencabuli puluhan anak-anak ternyata pada masa lalunya pernah menjadi korban pelecehan seksual juga[8] dan khawatir korban-korban Emon akan menjadi seperti Emon.
Para korban dapat menjadi pelaku karena trauma yang mereka alami cukuplah besar sehingga membuat mereka gelisah karena tak nyaman dan amarah kekesalan itu dapat menyebabkan timbulnya rasa ingin balas dendam. Seperti contoh saat kita aktif di OSIS dulu sebagian besar anggotanya hanya ingin ikut menjadi panitia MOS saja, karena mereka merasa bahwa betapa indahnya ketika mereka dapat melakukan sesuatu yang dulu pernah orang lakukan terhadapnya.
Akan ada berapa “Emon” di Indonesia jika satu Emon melahirkan 120 Emon dan tiap Emon melakukan hal yang sama. Masa depan Indonesia akan sangat terancam mengingat semakin banyaknya para pelaku pelecehan seksual. Kasus pedofilia ini dapat memunculkan kasus yang lain seperti halnya homoseksual atau seks sesama jenis yang pada perilaku seksnya relatif sama dengan kasus pedofilia yaitu pelakunya pada umumnya lelaki dan korbanpun pada umumnya lelaki dan juga sama-sama menggunakan anal seks atau seks melalui dubur dan penyakit akan semakin mewabah di Indonesia seperti HIV/AIDS, Herpes dan penyakit lainnya atau mungkin akan lebih parah dari pada sekedar penyakit. Dampak bagi sosial akan menjadi sangat buruk karena semakin banyak pelaku homoseksual maka semakin banyak pula kelompok-kelompok yang menyuarakan agar homoseksual dilegalkan dinegeri ini mengingat negara Indonesia merupakan negara demokrasi yang didalamnya bebas mengumandangkan keinginan dan suaranya. Sesuatu yang sangat mungkin ketika suatu nanti saat homoseksual dilegalkan anak-anak kita bertanya kepada kita “mengapa ayahku laki-laki dan ibuku perempuan sedangkan diluar sana banyak yang menikah tetapi laki-laki dan laki-laki atau perempuan dan perempuan” bahkan mungkin pernikahan antara lelaki dan perempuan akan menjadi pemandangan yang sangat langka. Jika homoseksual dilegalkan akan ada banyak pernikahan yang tidak jelas sah atau tidaknya meskipun pernikahan itu antara lelaki dan perempuan karena akan ada banyak anak manusia yang dilahirkan dari hasil bayi tabung yang entah dari siapa sperma dan sel telurnya dan akan ada banyak manusia yang keluar dari fitrahnya terutama ketika bayi tabung sudah menjadi hal yang lumrah, banyak sekali perempuan yang tidak mau melahirkan dan ketika perempuan tidak melahirkan, dia pasti tidak menyusui karena dia tidak sempat mengandung serta anak-anak manusia akan sangat jauh dengan agama karena rusaknya sistem sosial akan berdampak buruk terhadap sistem agama. Ketika sistem agama sudah rusak otomatis agama tidak lagi menjadi landasan atau pegangan kehidupan manusia sebab manusia akan memandang agama sebagai sebuah sistem yang bobrok hingga akhirnya kehancuran dunia pun akan semakin jelas atau mungkin kiamat.



BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapat dari pembahasan ini adalah pedofilia akan melahirkan pelaku lainnya dan bahkan akan melahirkan pelaku homoseksual karena ada gangguan psikologisnya.
Pedofilia dan homoseksual dapat terjadi akibat adanya memori masa lampau yang sangat berkesan yang menyebabkan si pelaku teringat dan terangsang secara seksual terhadap anak-anak ataupun sesama jenis.
Dampak buruk dari pedofilia dan homoseksual tidak hanya berdampak buruk terhadap kesehatan jasmani saja tetapi kesehatan ruhani akan ikut kena dampak buruknya bahkan sistem sosial dan sistem agama akan rusak sehingga menghantarkan peradaban manusia kepada kehancuran moral dan mendekati kehancuran dunia atau kiamat.
Terapi aversi dapat dijadikan sebagai jalan penyembuhan bagi pelaku pedofilia ataupun homoseksual. Tetapi tidak menjadi satu-satunya jalan untuk penyembuhan ini karena masih ada banyak cara yang lain walaupun belum terbukti keefektifannya.
Allah dan Rasul-Nya benar-benar melaknat bagi pelaku homoseksual ataupun heteroseksual namun yang melakukan seks melalui dubur karena berbagai macam alasan terutama masalah kesehatan dan keturunan.




DAFTAR PUSTAKA
Ashari, Julian. 2014. Dari Bumi untuk Langit. Bandung: ___
Effendi, Usman dan Juhaya. 1993. Pengantar Psikologi. Bandung: Angkasa
Harjoso. 1982. Pengantar Antropologi. Bandung: Binacipta
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineke Cipta
Rolls, Geoff. 2012. Studi Kasus Klasik dalam Psikologi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar
Shihab, Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati
Sutirna. 2013. Bimbingan Konseling. Jogjakarta: Penerbit Andi


http://id.wikipedia.org/wiki/Pedofilia (diakses pada tanggal 16 Mei 2014)
http://regional.kompas.com/read/2014/05/09/1113598/ (diakses pada tanggal 16 Mei 2014)
http://ruangpsikologi.com/kesehatan/homoseksual/ (diakses pada tanggal 31 Mei 2014)



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Pedofilia
[2] Rolls, Geoff, Studi Kasus Klasik dalam Psikologi (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2012), 243
[3] Rolls, Geoff, Studi Kasus Klasik dalam Psikologi (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2012), 246
[4] Ashari, Julian, Dari Bumi untuk Langit (Bandung: 2014), 54
[5] Ashari, Julian, Dari Bumi untuk Langit (Bandung: 2014), 55
[6] Rolls, Geoff, Studi Kasus Klasik dalam Psikologi (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2012), 249
[7] Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah (Jakarta : Lentera Hati, 2002), 483
[8] http://regional.kompas.com/read/2014/05/09/1113598/

No comments:

Post a Comment

silahkan beri komentar yang membangun.