BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pelecehan seksual terhadap anak adalah sebuah kasus
yang cukup panas akhir-akhir ini di indonesia. Kasus ini terjadi akibat adanya kelainan
kejiwaan pada pelaku yaitu pedofilia. Pedofilia adalah kelainan kejiwaan yang
mengakibatkan orang dewasa yang mengidapnya menyukai anak dibawah umur sebagai
alat pelampiasan seksnya dan biasanya para pengidap pedofilia ini melakukan
anal seks atau seks melalui dubur atau anus.
Banyak anak-anak yang menjadi korban dari pelecehan
seksual ini dan para pelaku ternyata pernah mengalami kasus serupa sewaktu dia
kecil. Dikhawatirkan para korban pelecehan seksual saat ini nantinya akan
menjadi pelaku di masa yang akan datang dan homoseksual akan menjadi
pemandangan yang sangat biasa karena pelaku dan korban pada umumnya laki-laki
walaupun ada perempuan namun dengan jumlah yang sedikit.
Hal ini dapat terjadi karena trauma yang dialami oleh
korban akan membuatnya merasa tak nyaman dan mendorong korban untuk melakukan
hal yang serupa sehingga bukan tidak mungkin kisah nabi Luth A.s. akan terulang
kembali pada masa kini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sudut pandang islam tentang pedofilia dan
homoseksual?
2.
Bagaimana sudut pandang kajian antropologi tentang
pedofilia dan homoseksual?
C.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
cara mengumpulkan referensi atau kajian pustaka serta menafsirkan dengan metode
double movement atau lebih tepatnya menganalogikan sebuah kisah masa lalu
dengan peristiwa saat ini.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.
Pedofilia dan Homoseksual Menurut
Islam
Pedofilia adalah kelainan kejiwaan
yang menyebabkan seorang pria dewasa menyukai anak-anak sebagai alat
pelampiasan seksnya namun yang menjadi masalah adalah objek seksnya adalah
anak-anak dibawah umur dan biasanya pelaku melakukan seks ini dengan cara anal
seks atau seks melalui dubur layaknya homoseksual. Sedangkan homoseksual adalah
kelainan kejiwaan yang membuat si pengidap menyukai sesama jenis secara seksual
Jelas hal ini diharamkan dalam
agama Islam sesuai sabda Rasulullah bersabda dalam haditsnya dari At Tirmidzy
dan An Nasa’i meriyawatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Allah tidak akan melihat
kepada seseorang yang mendatangi laki-laki atau perempuan di duburnya.” Sanad
hadits ini shohih.
“Allah melaknat siapa yang berbuat
dengan perbuatannya kaum Luth“. Beliau katakan tiga kali. (Diriwayatkan Al Imam
Ahmad dengan sanad shohih).
“Benar-benar terlaknat orang yang
menyetubuhi istrinya di duburnya.” (HR. Ahmad 2: 479. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).
“Barangsiapa yang menyetubuhi
wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap
apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR.
Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih)
B.
Tinjauan Teori Antropologi
(Kepribadian)
Kata ini berasal dari bahasa Yunani: paidophilia
(παιδοφιλια)—pais (παις, "anak-anak") dan philia
(φιλια, "cinta yang bersahabat" atau "persahabatan". Di
zaman modern, pedofil digunakan sebagai ungkapan untuk "cinta anak"
atau "kekasih anak" dan sebagian besar dalam konteks ketertarikan
romantis atau seksual. Infantofilia, atau nepiofilia, digunakan untuk
merujuk pada preferensi seksual untuk bayi dan balita (biasanya umur 0-3). Pedofilia
digunakan untuk individu dengan minat seksual utama pada anak-anak prapuber
yang berusia 13 atau lebih muda. Hebephilia didefinisikan
sebagai individu dengan minat seksual utama pada anak prapubertas yang berusia
11 hingga 14 tahun.
Pedofilia didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada orang dewasa
atau remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan usia 16 atau lebih tua)
biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual primer atau eksklusif pada
anak prapuber (umumnya usia 13 tahun atau lebih muda, walaupun pubertas dapat
bervariasi). Anak harus minimal lima tahun lebih muda dalam kasus pedofilia
remaja (16 atau lebih tua) baru dapat diklasifikasikan sebagai pedofilia.
Meskipun ini arti harfiah telah diubah terhadap daya tarik seksual pada zaman
modern, berdasarkan gelar "cinta anak" atau "kekasih anak,"
oleh pedofil yang menggunakan simbol dan kode untuk mengidentifikasi preferensi
mereka.
Pedofilia pertama kali secara resmi diakui dan disebut pada akhir
abad ke-19. Sebuah jumlah yang signifikan di daerah penelitian telah terjadi
sejak tahun 1980-an. Saat ini, penyebab pasti dari pedofilia belum ditetapkan
secara meyakinkan. Penelitian menunjukkan bahwa pedofilia mungkin berkorelasi
dengan beberapa kelainan neurologis yang berbeda, dan sering bersamaan dengan
adanya gangguan kepribadian lainnya dan patologi psikologis. Dalam konteks
psikologi forensik dan penegakan hukum, berbagai tipologi telah disarankan
untuk mengkategorikan pedofil menurut perilaku dan motivasinya.[1]
Dalam
kasus ini peran psikolog sangatlah penting ini disebabkan karena yang
mempengaruhi sipelaku dalam melakukan kejahatannya adalah kejiwaannya. Kita tahu
bahwa Emon adalah korban pelecehan seksual dimasa lalunya dan kemudian bahkan
dia menjadi pelaku pada masa sekarang dan semua itu didasari oleh kejiwaannya.
Mungkin
pada kasus ini Emon bukanlah pengidap pedofilia sehingga Emon dalam pembahasan
kali ini bukanlah tokoh utamanya. Kesimpulan yang didapat dari kasus ini
adalah, satu orang pengidap pedofilia akan melahirkan ratusan manusia yang
mengidap pedofilia ataupun penyuka sesama jenis atau homoseksual dan ini akan
berdampak sangat berbahaya.
Kasus
pedofilia dan homoseksual ini relatif sama dengan sebuah kasus yang melibatkan
seorang pria yang sudah menikah yang mengembangkan perversi seksual yang sangat
aneh yaitu ia sangat mudah terangsang oleh kereta bayi dan tas tangan wanita
sehingga perversi ini menimbulkan banyak kasus kerusakan kereta bayi/tas tangan
wanita.
Masalah
pria tampaknya dimulai pada usia 10 tahun yang awalnya hanya sekedar sering
menggarukan ibu jarinya pada kereta bayi ataupun tas wanita tetapi terkadang
serangannya jauh lebih serius lagi. Dia pernah melibatkan wanita yang sedang
mendorong kereta bayi lalu melumasi kereta bayinya dengan oli mesin bahkan
memotong kereta bayinya dan merusaknya bahkan dia pernah membakar dua kereta
bayi kosong yang dia temukan di stasiun kereta api. Dia sering mengendarai
motor ke arah kereta bayi namun berbelok pada menit terakhir untuk menghindari
mencelakai si bayi yang ada didalamnya. Dia pun sengan mengendarai motor
melalui kubangan dan mencipratkan airnya kepada siapapun yang mendorong kereta
bayi di sepanjang trotoir jalan berbeda dengan tas tangan wanita. Dia biasanya
akan merasa puas hanya dengan menggaruk-garukkan jarinya terhadap tas tangan
wanita tersebut. Dia pernah dihukum karena berkendara dengan ceroboh dan
melakukan kerusakan terhadap kereta bayi.
Kasus
yang sangat unik ini terjadi karena memori masa lampaunya yang membuat dia
ingat terhadap sebuah peristiwa yang mungkin baginya sangat berkesan. Ketika ia
sedang bermain kapal-kapalannya di danau di sekitar tempat tinggalnya secara
tidak disengaja dia menabrak bagian sisi kereta bayi dengan kapal-kapalannya
dan dia pun terkesan oleh kehebohan feminim yang menjadi respon terkejutnya
sang ibu pemilik bayi sekaligus kereta bayi tersebut. Dia pernah juga
melaporkan bahwa dia pernah mengalami suatu insiden ketika dia merasa aneh
bahwa dia terangsang secara seksual oleh tas tangan saudara perempuannya.
Pasien menerima kemungkinan signifikasi kejadian-kejadian ini dan menganggapnya
sebagai simbolisme seksual pada kereta bayi dan tas tangan wanita. Mungkin
dalam istilah freudian kedua benda ini mempresentasikan nafsunya terhadap
ibunya atau secara umum genitalia wanita.[2]
Kasus
yang dialami pria ini serupa dengan kasus pedofilia yang terjadi di Indonesia
dan dapat dijelaskan dengan teori classical conditioning yang
dideskripsikan pertama kali oleh seorang fisiolog rusia yang bernama Ivan
Pavlov (1849-1936). Selama penelitiannya tentang sistem pencernaan anjing
Pavlov melihat bahwa anjing salivasi (mengeluarkan air liur) sebagai respon
ketika melihat makanan. Ia menyebut salivasi sebagai unconditioned responsse
(respon tak terkondisi) karena terjadi secara ilmiah dan tanpa latihan
sebelumnya dan makanan disebut unconditioned stimulus (stimulus tak
terkondisi). Ia menyadari bahwa tindakan yang normalnya netral seperti
membunyikan bel bisa menjadi diasosiasikan dengan penampakan makanan seperti
menghasilkan salivasi sebagai sebuah conditional responsse (respon
terkondisi) yang menjadi respon terhadap conditional stimulus (stimulus
terkondisi)
Dalam
peneliatian selanjutnya, Pavlov menemukan bahwa agar respon terkondisi
dipertahankan, ia harus dipasangkan secara periodik dengan stimulus tak
terkondisi jika tidak asosiasi yang telah dipelajari akan mudah dilupakan (extinction). Classical conitioning dapat
diterapkan pada perilaku manusia yang menjelaskan fenomena kompleks seperti
reaksi emosional seorang terhadap lagu atau parfum tertentu berdasarkan
pengalaman masa lalu dengan siapa objek itu diasosiasikan. Pengkondisian klasik
juga menjadi dasar bagi berbagai macam tipe ketakutan atau fobia yang dapat
terjadi melalui sebuah proses yang disebut stimulus generalization (generalisasi
stimulus). Seperti halnya seorang anak takut dengan seekor anjing tertentu,
mungkin dia akan belajar untuk takut kepada semua anjing.[3]
Beralih kepada kasus pedofilia, seorang pelaku
dapat menyukai anak-anak akibat pengalaman masa lalunya. Dengan teori tersebut
kita akan mencoba untuk menjelaskan kemungkinan yang terjadi pada kasus ini.
Kita anggap seorang wanita yang seksi itu sebagai stimulus tak terkondisi dan
anak-anak itu sebagai stimulus netral. Ketika seorang laki-laki normal melihat
wanita seksi pasti dia akan menghasilkan respon tak terkondisi secara seksual
dan itu wajar berbeda dengan ketika lelaki normal ini melihat seorang anak-anak
yang meskipun telanjang dia tidak akan menghasilkan respon apapun secara
seksual. Namun ketika stimulus netral di asosiasikan dengan stimulus tak
terkondisi secara periodik dengan sengaja ataupun tidak disengaja, hal ini akan
merangsang otaknya terutama bagian memorinya untuk mencerna respon apa yang di
hasilkan oleh stimulus tak terkondisi (wanita seksi) ketika kita melakukan
suatu hal terhadap stimulus netral (anak-anak). Jika respon wanita seksi itu
cukup menggairahkan ketika misalnya kita pukul anaknya dan dia menjerit cukup
menggairahkan lelaki normal ini akan sangat mengingat peristiwa itu dan jika
ingatan itu sudah tertanam di alam bawah sadarnya, ini akan sangat berbahaya
karena ketika sudah tertanam dalam alam bawah sadarnya, lelaki normal ini bisa
dengan mudah melakukan hal tersebut dan terangsang tanpa ia sadari dan sedikit
demi sedikit dia justru akan lebih menikmati rangsangan dari kegiatan tersebut
dibandingkan rangsangan langsung dari wanita sehingga stimulus netral akan menjadi
stimulus terkondisi. Tentunya semua itu terjadi didasari oleh naluri alamiah
tiap-tiap manusia. Mengapa demikian? Karena kepribadian atau karakter seseorang
didukung oleh tiga unsur dasar yaitu pengetahuan, perasaan dan dorongan naluri.
Pengetahuan adalah segala apa yang mengisi akal dan
alam jiwa manusia secara sadar. Orang yang tahu disebut memiliki pengetahuan.
Umumnya pengetahuan diperoleh melalui pengalaman, yakni persentuhan dengan
panca indera. [4]
Pengetahuan tersusun dari beberapa unsur yaitu persepsi,
apersepsi, pengamatan, konsep dan fantasi yang semua itu sangat berpengaruh
terhadap pengetahuan yang tiap-tiap orang miliki. Karena ketika salah satunya
hilang, maka pengetahuan yang didapat tidak akan sempurna.
Perasaan adalah suatu keadaan dalam kesadaran
manusia yang karena pengaruh pengetahuannya munculah penilaian positif atau
negatif terhadap sesuatu.[5] Dari
pendapat ini kita bisa membenarkan peribahasa yang sering kita dengar
sebelumnya ”tak kenal maka tak sayang”. Karena sebelum kita memiliki sebuah
perasaan terhadap seseorang ataupun benda kita harus mengenalnya atau
mengetahuinya terlebih dahulu, masalah berapa persentase pengenalannya itu
tergantung siapa dan dorongan nalurinya.
Dorongan naluri adalah suatu keadaan dalam
kesadaran individu manusia yang tidak ditimbulkan karena pengaruh
pengetahuannya, tapi karena sudah terkandung dalam gen yang dibawanya sejak
lahir. Dan sedikitnya ada tujuh dorongan naluri dalam individu manusia
1. Dorongan
mempertahankan hidup
2. Dorongan
seks
3. Dorongan
untuk mencari makan
4. Dorongan
untuk berinteraksi
5. Dorongan
untuk imitasi atau meniru tingkah laku sesama
6. Dorongan
untuk berbakti
7. Dorongan
untuk cenderung kepada keindahan
Kasus ini berawal dari sebuah pengetahuan yang
membuat perasaannya merasakan sesuatu yang berkesan baginya dan keterkesanan
itu dilandasi oleh dorongan nalurinya sebab kasus ini tidak akan mungkin
terjadi ketika orang tersebut memiliki dorongan naluri seks yang rendah.
Pedofilia bisa disembuhkan dengan terapi aversi
karena prinsip terapi ini didasarkan kepada classical conditioning.
Penanganan ini melibatkan suntikan obat yang disebut apomorphine yang
menghasilkan pening atau mual. Stimulus terkondisi akan diberikan berupa gambar
anak-anak atau semacamnya segera setelah obat diberikan. Ketika obat bereaksi,
mual mempresentasikan respon tidak menyenangkan yang diasosiasikan dengan
dtimulus terkondisi. Pelaksanaannya cukup berat karena perlakuan ini diberikan
setiap dua jam, siang dan malam, dan tidak boleh diberi makanan. Di malam hari,
amfetamin digunakan untuk membantunya terjaga. Pada akhir minggu pertama,
penanganan itu boleh dihentikan dan pasien diperbolehkan untuk pulang.
Penanganan ini tidak cukup sekali sehingga penanganan atau terapi aversi ini
terkadang cukup menyiksa pasien walaupun disisi lain hasilnya sangat memuaskan.
Terapi ini menjadi pro dan kontra di kalangan pakar kesehatan dan psikolog.
Banyak psikolog yang menyatakan bahwa perlakuan pada terapi aversi ini dianggap
memperlakukan manusia dengan cara tidak menyenangkan dengan melibatkan banyak
rasa sakit dan ketidaknyamanan. Banyak yang percaya bahwa terapi ini semacam
cuci-otak.[6]
Hans Eysenck seorang psikolog brilian yang
kontroversional menganggap bahwa terapi ini adalah sebuah penanganan yang aman
dan efektif untuk banyak kondisi yang sulit dikoreksi dan wajar untuk
membiarkan keputusan akhirnya diambil oleh si penderita itu sendiri.
Untuk menggunakan terapi ini harus ada pertimbangan
yang lebih karena memang dampak sosialnya sangat kurang baik karena terapi ini
sama dengan memperlakukan manusia dengan tidak sewajarnya terlepas dari setuju
atau tidaknya si penderita melakukan terapi aversi tersebut. Terapi ini pun
tidak menjadi satu-satunya jalan yang dapat digunakan sebab masih ada cara lain
yang meskipun belum terbukti khasiatnya namun tetap bisa dibuktikan.
BAB III
HASIL RISET
A.
Subjek Kajian
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِۦٓ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ ٱلْفَٰحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّنَ ٱلْعَٰلَمِينَ ﴿٢٨﴾
Al-`Ankabut[29]:28
“Dan
(ingatlah) ketika Lut berkata kepada kaumnya, "Kamu benar-benar melakukan
perbuatan yang sangat keji (homoseksual) yang belum pernah dilakukan oleh
seorang pun dari umat-umat sebelum kamu.”
أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ ٱلرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ ٱلسَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِى نَادِيكُمُ ٱلْمُنكَرَ فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِۦٓ إِلَّآ أَن قَالُوا۟ ٱئْتِنَا بِعَذَابِ ٱللَّهِ إِن كُنتَ مِنَ ٱلصَّٰدِقِينَ ﴿٢٩﴾
Al-`Ankabut[29]:29
“Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan
kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?" Maka jawaban kaumnya tidak lain
hanya mengatakan, "Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika engkau
termasuk orang-orang yang benar."”
Al-`Ankabut[29]:30
“Dia (Lut)
berdoa, "Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas golongan
yang berbuat kerusakan itu."”
وَلَمَّا جَآءَتْ رُسُلُنَآ إِبْرَٰهِيمَ بِٱلْبُشْرَىٰ قَالُوٓا۟ إِنَّا مُهْلِكُوٓا۟ أَهْلِ هَٰذِهِ ٱلْقَرْيَةِ إِنَّ أَهْلَهَا كَانُوا۟ ظَٰلِمِينَ ﴿٣١﴾
Al-`Ankabut[29]:31
“Dan ketika utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim
dengan membawa kabar gembira, mereka mengatakan, "Sungguh, kami akan
membinasakan penduduk kota (Sodom) ini karena penduduknya sungguh orang-orang
zalim."”
B.
Tafsir
Surat
al-`Ankabut ayat 28 sampai 31 dijelaskan dalam tafsir al-Misbah bahwa fahisyah
adalah sebuah perbuatan keji yaitu homoseksual dan sangatlah buruk. Kaum
Nabi Luth A.s. melakukan perbuatan keji ini dengan tanpa rasa malu sebab
dimanapun mereka saling bertemu, mereka melakukannya ditempat tersebut bukan
ditempat sepi ataupun bersembunyi. Bagi orang normal teguran yang begitu jelas
pastilah menimbulkan rasa malu yang cukup besar namun bagi kaum sodom ini
teguran itu dianggap sebagai teguran yang tidak wajar ditanggapi dan bahkan
sambil mengejek kaum sodom ini berkata kepada Nabi Luth A.s. “Datangkanlah
kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang benar”.
Melihat
kelakuan kaumnya hari demi hari Nabi Luth A.s. berdoa agar Allah mendatangkan
pertolongan berupa azab kepada kaumnya yang berbuat kerusakan itu karena
kerusakannya itu telah mendarah daging dan mengancam kelanjutan hidup manusia.
Kalimat
وَتَقْطَعُونَ ٱلسَّبِيلَ
yang secara harfiah berarti memutuskan
jalan, dipahami oleh banyak ulama dalam arti menyamun. Ada juga yang
berpendapat bahwa mereka melempar para pejalan di desa dengan batu. Siapa yang
mengenai seseorang, maka dia yang mengambil uangnya dan dia berhak untuk
melampiaskan hasratnya kepada orang tersebut.
Nabi
Luth A.s. telah berkali-kali
mengingatkan dan menegur kaumnya. Ini antara lain terlihat dari perbedaan
jawaban mereka disini dan jawaban mereka pada surat al-A‘raf ayat 82, mereka
berkata kepada sesamanya untuk mengusir Nabi Luth A.s dan pengikutnya dan
mereka mengatakan bahwa Nabi Luth dan pengikutnya adalah orang yang lemah yang
terus-menerus sangat menyucikan diri.
Doa
Nabi Luth A.s. dipahami oleh banyak ulama dalam arti permohonan untuk
menjatuhkan siksa Allah atas mereka. Namun mengingat Nabi hampir selalu
mengasihi kaumnya, jadi doa Nabi Luth dapat diperkirakan berupa penyerahan
secara total kepada Allah untuk kelanjutannya.
Nabi
Luth sedikit berbeda dengan para nabi yang disebut sebelumnya. Beliau tidak
berpesan tentang tauhid. Ini bukan berarti bahwa beliau tidak mengajak mereka
untuk menyembah Allah namun ada sesuatu yang sangat buruk yang hendak beliau
luruskan bersama pelurusan akidah, yaitu kebiasaan buruk mereka dalam seks.
Disisi lain perlu diingat bahwa penekanan tentang keburukan tersebut tidaklah
jauh dari persoalan akidah, ketuhanan dan tauhid karena keduanya fitrah. Syirik
merupakan pelanggaran fitrah dan homoseksual juga merupakan pelanggaran fitrah.
Allah telah menciptakan makhluk normal hanya terdorong syahwatnya kepada lawan
jenisnya. Kenikmatan yang mereka peroleh dari hubungan tersebut bersumber dari
lubuk hati mereka masing-masing. Pasangan bukan hanya sebagai pemuas kenikmatan
jasmani saja tetapi sebagai pemuas kenikmatan ruhani juga dan gabungan
kenikmatan itulah yang menjadi jaminan sekaligus dorongan bagi masing-masing
untuk memelihara jenis dan sebagai imbalan kewajiban dan tanggung jawab
memelihara anak keturunan. Mereka yang melakukan homoseksual hanya mengharapkan
kenikmatan jasmani yang menjijikan saja sambil melepas tanggung jawabnya belum
lagi dampak negatif bagi kesehatannya berupa kesehatan jasmani dan ruhaninya
pula yang diakibatkan.[7]
C.
Objektifikasi dalam Konteks
Indonesia Kini
Dampak buruk yang dapat terjadi dari
kasus ini cukup berbahaya dan bahkan dapat membuat negeri ini hancur lebur
layaknya negeri sodom kaum nabi Luth A.s. yang dihancurkan karena prilaku
umatnya yang keji itu. Mengapa demikian? Karena pedofilia ini akan melahirkan
banyak pelaku yang serupa bahkan sekaligus melahirkan para pelaku homoseksual.
Kita sebut saja Emon atau yang nama aslinya Andri Sobari predator seks asal
sukabumi ini yang telah mencabuli puluhan anak-anak ternyata pada masa lalunya
pernah menjadi korban pelecehan seksual juga[8]
dan khawatir korban-korban Emon akan menjadi seperti Emon.
Para korban dapat menjadi pelaku
karena trauma yang mereka alami cukuplah besar sehingga membuat mereka gelisah
karena tak nyaman dan amarah kekesalan itu dapat menyebabkan timbulnya rasa
ingin balas dendam. Seperti contoh saat kita aktif di OSIS dulu sebagian besar
anggotanya hanya ingin ikut menjadi panitia MOS saja, karena mereka merasa
bahwa betapa indahnya ketika mereka dapat melakukan sesuatu yang dulu pernah
orang lakukan terhadapnya.
Akan ada berapa “Emon” di Indonesia
jika satu Emon melahirkan 120 Emon dan tiap Emon melakukan hal yang sama. Masa
depan Indonesia akan sangat terancam mengingat semakin banyaknya para pelaku
pelecehan seksual. Kasus pedofilia ini dapat memunculkan kasus yang lain
seperti halnya homoseksual atau seks sesama jenis yang pada perilaku seksnya
relatif sama dengan kasus pedofilia yaitu pelakunya pada umumnya lelaki dan
korbanpun pada umumnya lelaki dan juga sama-sama menggunakan anal seks atau
seks melalui dubur dan penyakit akan semakin mewabah di Indonesia seperti
HIV/AIDS, Herpes dan penyakit lainnya atau mungkin akan lebih parah dari pada
sekedar penyakit. Dampak bagi sosial akan menjadi sangat buruk karena semakin
banyak pelaku homoseksual maka semakin banyak pula kelompok-kelompok yang
menyuarakan agar homoseksual dilegalkan dinegeri ini mengingat negara Indonesia
merupakan negara demokrasi yang didalamnya bebas mengumandangkan keinginan dan
suaranya. Sesuatu yang sangat mungkin ketika suatu nanti saat homoseksual
dilegalkan anak-anak kita bertanya kepada kita “mengapa ayahku laki-laki dan
ibuku perempuan sedangkan diluar sana banyak yang menikah tetapi laki-laki dan
laki-laki atau perempuan dan perempuan” bahkan mungkin pernikahan antara lelaki
dan perempuan akan menjadi pemandangan yang sangat langka. Jika homoseksual
dilegalkan akan ada banyak pernikahan yang tidak jelas sah atau tidaknya
meskipun pernikahan itu antara lelaki dan perempuan karena akan ada banyak anak
manusia yang dilahirkan dari hasil bayi tabung yang entah dari siapa sperma dan
sel telurnya dan akan ada banyak manusia yang keluar dari fitrahnya terutama
ketika bayi tabung sudah menjadi hal yang lumrah, banyak sekali perempuan yang
tidak mau melahirkan dan ketika perempuan tidak melahirkan, dia pasti tidak
menyusui karena dia tidak sempat mengandung serta anak-anak manusia akan sangat
jauh dengan agama karena rusaknya sistem sosial akan berdampak buruk terhadap
sistem agama. Ketika sistem agama sudah rusak otomatis agama tidak lagi menjadi
landasan atau pegangan kehidupan manusia sebab manusia akan memandang agama
sebagai sebuah sistem yang bobrok hingga akhirnya kehancuran dunia pun akan
semakin jelas atau mungkin kiamat.
BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan yang
didapat dari pembahasan ini adalah pedofilia akan melahirkan pelaku lainnya dan
bahkan akan melahirkan pelaku homoseksual karena ada gangguan psikologisnya.
Pedofilia dan
homoseksual dapat terjadi akibat adanya memori masa lampau yang sangat berkesan
yang menyebabkan si pelaku teringat dan terangsang secara seksual terhadap
anak-anak ataupun sesama jenis.
Dampak buruk
dari pedofilia dan homoseksual tidak hanya berdampak buruk terhadap kesehatan
jasmani saja tetapi kesehatan ruhani akan ikut kena dampak buruknya bahkan
sistem sosial dan sistem agama akan rusak sehingga menghantarkan peradaban
manusia kepada kehancuran moral dan mendekati kehancuran dunia atau kiamat.
Terapi aversi
dapat dijadikan sebagai jalan penyembuhan bagi pelaku pedofilia ataupun
homoseksual. Tetapi tidak menjadi satu-satunya jalan untuk penyembuhan ini
karena masih ada banyak cara yang lain walaupun belum terbukti keefektifannya.
Allah
dan Rasul-Nya benar-benar melaknat bagi pelaku homoseksual ataupun
heteroseksual namun yang melakukan seks melalui dubur karena berbagai macam
alasan terutama masalah kesehatan dan keturunan.
DAFTAR PUSTAKA
Ashari,
Julian. 2014. Dari Bumi untuk Langit. Bandung: ___
Effendi,
Usman dan Juhaya. 1993. Pengantar Psikologi. Bandung: Angkasa
Harjoso.
1982. Pengantar Antropologi. Bandung: Binacipta
Koentjaraningrat.
1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineke Cipta
Rolls, Geoff. 2012. Studi Kasus Klasik dalam Psikologi. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar
Shihab, Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati
Sutirna.
2013. Bimbingan Konseling. Jogjakarta: Penerbit Andi
http://id.wikipedia.org/wiki/Pedofilia (diakses pada tanggal 16 Mei 2014)
http://regional.kompas.com/read/2014/05/09/1113598/
(diakses pada tanggal 16 Mei 2014)
http://ruangpsikologi.com/kesehatan/homoseksual/ (diakses pada tanggal 31 Mei 2014)
http://ruangpsikologi.com/kesehatan/homoseksual/#ixzz33HKLMnSO (diakses pada tanggal 31 Mei 2014)
http://rumaysho.com/keluarga/hubungan-seksual-yang-terlarang-2038 (diakses pada tanggal 31 Mei 2014)
http://www.e-psikologi.com/artikel/klinis/definisi-proses-homoseksual (diakses pada tanggal 31
Mei 2014)
[1]
http://id.wikipedia.org/wiki/Pedofilia
[2]
Rolls, Geoff, Studi Kasus Klasik dalam Psikologi (Jogjakarta : Pustaka Pelajar,
2012), 243
[3]
Rolls, Geoff, Studi Kasus Klasik dalam Psikologi (Jogjakarta : Pustaka Pelajar,
2012), 246
[4]
Ashari, Julian, Dari Bumi untuk Langit (Bandung: 2014), 54
[5]
Ashari, Julian, Dari Bumi untuk Langit (Bandung: 2014), 55
[6]
Rolls, Geoff, Studi Kasus Klasik dalam Psikologi (Jogjakarta : Pustaka Pelajar,
2012), 249
[7]
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah (Jakarta : Lentera Hati, 2002), 483
[8]
http://regional.kompas.com/read/2014/05/09/1113598/
No comments:
Post a Comment
silahkan beri komentar yang membangun.